Senyum dari Papua

Apa yang pertama kali melintas di benak kalian ketika mendengar kata Papua? Buat gue yang picik ini, kata yang terpikir pertama kali adalah koteka.

Gue membayangkan semua orang di Papua masih menggunakan koteka dalam kehidupan sehari-hari. Keluar rumah pake koteka, ke pasar pake koteka, atau bahkan ngantor pake koteka. Hal ini sempat membuat gue panik waktu pertama kali tau kalau gue akan ditugaskan ke Papua.

“Tirta, minggu depan kamu ke Papua ya?”

“Hmm..Papua ya pak? Anuuu.”

Gue mendadak panik mengetahui kalau gue harus ngantor selama seminggu menggunakan koteka. Kan susah ngantor di ruangan berAC cuma make koteka. Ada tiga hal yang gue khawatirkan.

  1. Susah nyari koteka untuk gue. Saking panjangnya bisa dililit ke leher.
  2. Agak kisut ya kelamaan make koteka di ruangan berAC.
  3. Gue belum pernah ke Papua!

Gue masih menyangka betapa susahnya gue akan bekerja di Papua, dimana orang-orang masih membawa tombak atau sumpit ketika bekerja. Seketika gue membayangkan ketika nanti gue bertanya kepada orang-orang Papua :

“Pak, dokumen ini ada yang nyimpen pak?”

“Ahhh, banyak nanya kamu!”

Fuuuttt..Sebuah anak panah beracun telah menempel di leher gue. Gue disumpit.

Intinya, pergi ke Papua adalah sebuah pengalaman yang benar-benar baru buat gue. Dan dengan menginjakkan kaki ke tanah Papua, lengkap sudah pengalaman gue sebagai anak Indonesia. Semua pulau besar di Indonesia sudah gue kunjungi. Selama ini, gue cuma bisa berharap bisa pergi kesana.

Mahalnya tiket pesawat kesana dan minimnya pengetahuan yang gue ketahui tentang Papua selalu menghalangi niat itu. Dan kali ini, gue benar-benar akan kesana!

Tapi ketika gue berkunjung kesana, semua bayangan gue sebelumnya tentang Papua salah besar. Tidak ada pria berkoteka yang berlalu-lalang selama gue di Papua.

Tidak ada bedanya antara kampung-kampung di Papua dengan yang ada di Aceh (kampung halaman gue), daerah yang sama-sama masih tertinggal.

Bahkan berdasarkan percakapan gue dengan Pak Franky, orang di Papua yang menyambut gue disana, dia bilang :

“Bahkan sekarang kalau bapak ngasih duit ama orang buat pake koteka di tengah kota, mereka gak mau pak. Udah tau. Koteka cuma dipake waktu ada acara adat.”

Dan seketika, bayangan gue tentang ngantor pake koteka hilang sudah. Berarti tinggal ketakutan gue disumpit.

Kebiasaan gue ketika berkunjung ke daerah yang baru yang selama ini gue lakukan adalah makan makanan khas daerah itu dan sebisa mungkin belajar bahasa setempat.

Dan ketika mengunjungi sebuah pasar di Babo, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, gue ingin menjalankan niat tersebut.

Nyampe di Babo, Kabupaten Teluk Bintuni
Airport in Biak

Dan seketika, gue ingin menanyakan beberapa kata sederhana ke Pak Franky. Kata-kata sederhana yang sangat berguna dalam percakapan sehari-hari seperti Maaf, Tolong atau Terima kasih.

Dan ternyata Pak Franky bilang :

“Ada banyak sekali bahasa Papua, ada ratusan dialek. Dan bahasa pemersatunya bahasa Indonesia.”

“Lagipula, orang Papua selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan orang lain. Mereka hanya menggunakan bahasa Papua kepada sesama orang Papua.” lanjut Pak Franky

“Kalo Mas atau Mbak bahasa Papuanya apa pak Franky? Biar kalo mau beli-beli sesuatu gampang.” gue penasaran.

“Oh, kamu bisa manggil Kakak.”

“Oh berarti yang kerja di Giordano itu kayaknya orang Papua semua. Kaos Giordanonya kakak. Buy one get one kakak!” pikir gue dalam hati.

“…tapi karena yang jualan itu biasanya sudah tua, kamu bisa panggil Nene (nenek) atau Tete (kakek).” lanjut pak Franky.

“Hah?! Bahasa Papuanya Kakek itu Tete?” gue setengah mati menahan rasa terkejut.

“Iya, Tete.” Pak Franky meyakinkan tanpa memperagakan. Karena bayangan Pak Franky mencubit-cubit dadanya sendiri bukanlah gambaran yang menyenangkan untuk dibayangkan.

Gue berusaha mencerna perbedaan yang sangat signifikan ini. Perbedaan bahasa ini bakal menyulitkan orang untuk bersikap perhatian di tempat lain, terutama di Jakarta. Cacat bahasa bisa terjadi, terutama di kalangan anak muda yang sedang pacaran.

Sebagai contoh, ada seorang cowok yang berusaha perhatian kepada pacarnya yang sedang ngambek.

“Sayang, tadi aku liat tete kamu, kulitnya udah keriput ya? Udah mau jatuh gitu tete kamu. Untung aku bantuin pegangin tadi.”

Futtt. Dan si cowok pun disumpit di leher.

Kasihan sekali anak-anak Papua yang gak bisa berbohong kepada gurunya jika terlambat masuk ke kelas.

“Kamu ini kok telat? Baru datang jam segini!”

“Anu bu, tete saya sakit. Maaf.”

“Ohh, gpp. Biasa. Kayaknya gara2 kamu mau dapet itu.”

Papua juga terkenal dengan obat-obatannya yang sangat hebat, mulai dari buah naga di Papua, sarang semut pengobat kanker, hingga minyak lintah untuk memperlama ereksi dan memperbesar alat vital untuk kaum pria.

Kebayang kan kalo sumpit yang ditembakkan itu bukan diisi racun, tapi ditambahkan minyak lintah? Setiap kali disumpit, akan ereksi.

Sumpit aku Te! Sumpit aku!

Pantesan Belanda gak bisa lama-lama menjajah Papua, karena pasti bakalan susah banget pergi berperang sambil ereksi.

Intinya, ke Papua membuka mata gue. Bahwa Papua tidak seperti yang gue bayangkan. Papua sama seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Sebuah propinsi yang kadang diabaikan, karena perhatian kita lebih terpusat ke pulau Jawa.

Karena penasaran, gue bertanya ke Pak Franky masalah kenaikan BBM dan BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang lagi heboh saat ini,sampe akhirnya gue ikut-ikutan bikin postingan terkait kenaikan bbm disini.

“Wah pak, disini BLSM gak ada efeknya. Harga bensin disini Rp10 ribu per liter.”

Dan gue mendadak diam, kenaikan bensin menjadi Rp6.500 di protes habis-habisan di pulau Jawa. Tapi disini, karena jarak yang jauh dan infrastruktur yang tertinggal, membuat harganya bisa jauh lebih tinggi.

Kata temen gue yang suka diving, pernah bilang gini.

“Daripada lo ke luar negeri ta, mending kunjungi Indonesia Timur. Bagus banget!”

Dan kali ini, kunjungan pertama gue ke Papua, kebanyakan gue masih berkutat masalah kerjaan kantor. Mungkin lain kali, ijinkan gue ke Papua lagi untuk liburan sehingga bisa melihat keindahan alam dan pantainya.

Datang lagi ke Papua, dan disambut lagi dengan sebuah senyum yang ramah. Senyum dari Papua.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top