Di ruang makan rumah gue, ada sebuah meja makan terbuat dari rotan. Meja dengan enam buah kursinya itu, terbuat dari rotan yang dililit sedemikian rupa sehingga sangat kokoh untuk menjadi sebuah meja makan.
Meja ini sudah lebih dari satu dekade ada di ruang makan rumah gue. Tak pernah beranjak meski presiden Indonesia udah ganti empat kali.
Sangat unik memang. Gue bahkan gak pernah menjumpai meja seperti ini di rumah manapun, bahkan di sentra kerajinan rotan yang pernah gue kunjungi. Bahkan saking uniknya, meja ini pernah ditawar untuk dibeli oleh orang bule yang pernah datang ke rumah. Tapi seberapapun harga yang ditawarkan, meja rotan ini gak pernah dilepas oleh orangtua gue.
Letaknya ada di ruang makan, tepat diantara dapur dan ruang keluarga. Lampu neon berwarna putih digantung tepat diatas meja itu sebagai penerang ketika malam tiba. Sebuah jendela besar di belakangnya langsung menghadap ke halaman belakang, dimana ada sebuah pohon mangga yang berbuah lebat setahun sekali.
Meja ini selalu menjadi tempat untuk makan malam kami sekeluarga. Berpiring-piring lauk pauk, dengan nasi putih yang masih mengebul panas, serta sajian teh manis atau sirup menjadi hidangan khas rumah ini ketika malam tiba. Semuanya tersedia diatas meja rotan yang menemani kami selama bertahun-tahun. Lengkap dengan tatakan piring dan gelasnya.
Tapi sebagaimana normalnya anak-anak pada umumnya, gue dan adik2 gue merasa malas untuk makan di meja makan. Kami lebih memilih untuk makan di depan tv sambil menonton Jin dan Jun lalu kadang dilanjutkan dengan Layar Emas RCTI.
Entah kenapa, makan sambil nonton tv itu terasa jauh lebih menyenangkan. Kami biasanya hanya akan ke dapur untuk mengisi kembali piring yang telah kosong, lalu kembali berlari ke depan tv agar tidak ada siaran yang terpotong.
Anak kecil dan televisi memang sahabat terbaik.
Biasanya bokap hanya akan menyindir secara halus sambil berkata “Makan tuh di meja makan, jangan di depan tv. Ayo kesini. Percuma mejanya udah susah-susah dibeli.”
Bokap emang selalu menyebutkan maksudnya secara tersirat. Tak ingin terlihat lemah. Tipikal pria Sumatera, muka Rambo hati Rinto. Tak pernah menyatakan secara jelas, bahwa dia ingin makan bersama semua anak-anaknya.
Dan karena tidak ingin menjadi anak durhaka lalu dikutuk menjadi dispenser, biasanya kami akan kembali duduk di meja makan sambil bersungut-sungut karena kesal telah dipisahkan dari televisi.
“Ngapain sih harus makan penuh etika kayak gitu?” pikir gue waktu itu.
Ritual itu berlangsung hampir tiap malam. Selama bertahun-tahun.
Dan akhirnya gue lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Bandung lalu kini bekerja di Jakarta. Kehidupan berlanjut dan perlahan gue mulai menjalani kehidupan seorang pria dewasa di ibukota. Kadang di kala lembur dan tidak ada kegiatan, gue biasanya hanya membeli nasi bungkus dan makan sendirian di kamar kosan.
Dan saat itu lah gue menyadari bahwa makan malam bersama keluarga di sebuah meja rotan menjadi sangat berharga. Bercerita dengan semangat tentang keseharian gue, tertawa menggoda kebodohan adik-adik gue, atau mendengarkan petuah-petuah yang datang dari bokap gue. Bukan masalah etika, tapi hanya bentuk syukur dan perekat sebuah keluarga setelah seharian berpisah.
Momen-momen makan bersama di meja rotan kini hanya bisa gue nikmati setahun sekali, dengan kondisi yang sudah tidak lagi sama.
Kakak gue yang sudah jarang pulang karena ikut suaminya, gue yang hanya bisa pulang setahun sekali karena sudah tinggal di Jakarta, adek gue yang sudah masuk asrama sekolahnya. Satu persatu, penghuni enam kursi rotan itu mulai pergi menjalani kehidupannya masing-masing.
Layaknya sebuah burung, kami kini mulai terbang dengan sayap kami masing-masing. Mencoba menjelajahi dunia dengan kemampuan sendiri jauh dari keluarga.
Makan bersama di sebuah meja rotan kini berbeda. Masih menawarkan kehangatan yang sama tapi tidak lagi sempurna.
Kini, sebuah meja rotan masih diam di tempat yang sama. Sebuah pertanda kehangatan sebuah keluarga yang bisa gue nikmati setahun sekali.
Dan gue yakin, kalian juga mempunyai ‘meja rotan-meja rotan’ yang sama. Meja rotan yang diam di tempat yang kalian sebut Rumah.
Dan disaat Lebaran seperti ini, saatnya kembali pulang ke ‘meja rotan’ kita masing-masing. Menikmati apa yang selalu kita sebut sebagai Keluarga.
Selamat Idul Fitri 1434 H. Mohon maaf lahir dan batin.