Beberapa minggu sebelum sakit, gue sempet naik Gunung Rinjani. Buat gue, ini adalah pengalaman pertama naik gunung di Indonesia. Sebelumnya gue nggak pernah mendaki gunung apapun.
Jadi pengalaman gue dalam hal ini benar-benar minimal.
Tapi seperti banyak hal lain yang gue coba cuma berdasarkan niat dan rasa sotoy (lari 10k, bikram yoga, aerobik), maka gue meng-iyakan ajakan teman-teman kantor untuk menaklukkan Rinjani, gunung berapi tertinggi ke dua di Indonesia.
Dari Lombok, kita langsung menuju desa Sembalun, salah satu dari dua entry untuk mendaki Rinjani. Beberapa porter yang kami sewa, membawakan hampir semua keperluan logistik yang kami butuhkan. Tenda, makanan, air minum, hingga snack selama pendakian. Para wisatawan pendaki dari Jakarta ini tidak perlu repot memikirkan dan membawa logistik.
Kami cuma perlu membawa barang-barang pribadi yang dibutuhkan di sebuah tas ransel.
Berangkat dari Sembalun pukul 8 pagi, pemandangan indah langsung gue dapatkan di awal pendakian. Jalur yang datar, dihiasi ribuan hektar padang savanna yang indah menjadi pemandangan yang menyejukkan mata.
Jalur pendakian mulai dari desa Sembalun, Pos 1, Pos 2 dan Pos 3 gue lalui dengan bersemangat. Seringnya frekuensi bercanda menyebabkan kami harus tertinggal jauh dari para rombongan pendaki yang lain.
Jalur ini sempat membuat gue berpikir “Hah, gini doang nih?” dalam hati. Tapi di Pos 3, porter gue akhirnya ngomong “Nah, dari sini baru sedikit sulit, mas”
“Kenapa pak?” tanya gue.
“Ya mulai dari sini jalur nya terjal. Apalagi di Bukit Penyesalan nanti?”
“Bukit Penyesalan? Namanya aneh banget? Kenapa namanya gitu, Pak?” gue penasaran.
“Nanti kalau udah liat, tau sendiri, Mas” porter gue santai.
Dan benar saja, begitu melewati Pos 3, gue langsung tau kenapa namanya Bukit Penyesalan.
Bukit yang berbaris tanpa henti inilah yang membuat orang-orang menyesal ingin menaklukkan Rinjani. Tujuh puncak bukit tiada henti yang dalam proses perjalanannya membuat gue ingin berteriak
“Mak, anakmu nyesal naik Rinjani!”
Serius, jalurnya sesusah itu. Sepanjang berberapa kilometer, jalur yang dilalui memiliki kemiringan hingga 60 derajat.
Susah banget!
Di Bukit Penyesalan ini pula, gue terpisah dengan beberapa teman satu kelompok. Karena memang beberapa anggota yang butuh tenaga ekstra untuk melewati bukit ini, sedikit tertinggal di belakang. Berjam-jam gue lalui di bukit ini setapak demi setapak.
Akhirnya, sekitar pukul 7 malam, gue tiba di Pelawangan Sembalun, check point terakhir sebelum gue menaklukkan Rinjani.
Di Pelawangan Sembalun ini kami akan bermalam sebelum naik ke summit Rinjani dini hari nanti. Dan harus gue akui, pemandangan di Pelawangan Sembalun bagus banget!.
BANGET!
Menginap di Pelawangan Sembalun berasa seperti tidur di awan. Karena emang lokasinya tinggi, dan gunung ini dikelilingi awan. Belum lagi Danau Segara Anak yang terpampang jelas di bawah.
Bagus banget!
Dengan kondisi badan super lelah dan bermandi keringat, gue akhirnya bisa istirahat di Pelawangan Sembalun. Sempat muncul keraguan apakah gue mampu naik ke puncak dengan kondisi selemah ini.
“Dari sini ke summit berapa jauh lagi, pak?” tanya gue ke porter gue.
“Nggak jauh, mas. Cuma sekitar 4 kilo. Tapi ya gitu, menanjak semua. Apalagi 1 kilo terakhir.”
Gue hanya bisa menelan ludah. Bayangan Bukit Penyesalan belum hilang sepenuhnya dari kepala gue. Dan kali ini, gue harus dihadapkan dengan kondisi yang jauh lebih buruk dari Bukit Penyesalan, dengan kondisi badan yang sudah jauh melemah.
Setelah makan malam sekitar jam 10 malam, gue langsung membentangkan sleeping bag, dan meringkuk di dalamnya dengan tetap memakai jaket tebal.
Udara super dingin malam ini bisa membuat gue sakit. Dalam kondisi super lelah, kelopak mata gue seperti ditarik ke bawah. Tidak butuh waktu lama, gue sudah terlelap, berhimpitan dengan teman-teman gue di dalam tenda.
***
Sekitar pukul dua dini hari, gue terbangun oleh derap langkah pendaki lain yang melewati tenda kami untuk ke summit. Dengan mata berat, badan lemah dan kedinginan, gue keluar dari tenda untuk melihat situasi.
Di depan tenda, porter kami sudah menyiapkan makanan untuk sumber tenaga menuju summit malam ini.
“Lo summit, Mas Rom?” tanya gue ke Mas Romi.
“Iya kayaknya. Udah nyampe sini, man. Sayang kalau gak naik.” lanjut mas Romi.
“Gue nggak tau gue kuat apa nggak nih, Mas. Lemah banget gue sekarang.” kata gue.
“Yauda jangan dipaksa, Ta. Kalau gak kuat tunggu di sini aja.” saran Mas Romi.
Gue hanya bisa duduk di depan api unggun di depan tenda. Sambil menyesap teh manis hangat yang sudah disiapkan, gue menimbang semua kemungkinan yang ada.
Apa gue punya tenaga untuk ke puncak malam ini? Apa gue sanggup untuk melakukannya? Apa gue bisa mendaki empat kilometer lagi?
Melihat teman-teman yang lain menyiapkan alat-alatnya, muncul semangat di dalam hati gue.
Gue langsung bangkit berdiri, masuk ke tenda untuk mengambil semua perlengkapan yang gue butuhkan.
Gue akan menaklukkan Rinjani malam ini!
***
Jalur ke puncak Rinjani benar-benar mengerikan. Dari Pelawangan Sembalun, kami harus menanjak melewati hutan yang cukup lebat. Ratusan orang ada bersama kami malam ini. Puluhan cahaya senter tampak bergerak-gerak menyoroti jalur pendakian di atas sana.
Pandangan gue hanya bisa ke bawah. Memperhatikan tanah yang akan gue injak dengan bantuan cahaya seadanya dari senter di kepala.
Beberapa kali gue harus tergelincir dalam gelap, karena tanah yang semula gue injak mulai berubah menjadi pasir bercampur dengan batu kerikil.
Inilah proses yang menguras tenaga.
Jalur berbatu seperti ini, membuat para pendaki harus sangat berhati-hati. Jalur ini juga lah yang membuat orang kepayahan dalam berjalan. Dua langkah yang kita ambil, akan mundur satu langkah akibat pasir yang tergerus oleh kaki.
Maju dua langkah, mundur satu langkah.
Begitu terus!
Perlahan demi perlahan, jalur yang awalnya lebar mulai menyempit. Jalur pendakian kini cuma selebar 5 meter dengan jurang di kiri kanan. Beberapa kali gue harus melewati pendaki yang kelelahan, dan beristirahat di balik bebatuan.
Mereka mengumpulkan tenaga sekaligus menghilangkan kantuk yang muncul akibat kurang tidur malam ini.
Gue melongok ke G-Shock hitam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul lima pagi. Gue dan teman-teman sepakat untuk berhenti sejenak untuk shalat subuh.
Di balik bebatuan besar, dengan posisi agak tersembunyi dari jalur pendakian, untuk pertama kalinya gue shalat di langit.
Mungkin ini adalah lokasi tertinggi di mana gue pernah shalat. Di puncak sebuah gunung, dengan langit malam penuh bintang bersih tanpa awan.
Syahdu sekali.
Selesai shalat, gue kembali mengumpulkan niat dan tenaga, untuk satu kilometer terakhir Gunung Rinjani.
Satu kilometer paling susah dari semua proses pendakian ini. Jalur yang sempit dan berpasir benar-benar menyulitkan. Gue hanya bisa berjalan setapak demi setapak dengan tetap menggenggam tongkat kayu di tangan sebagai alat bantu.
Sekitar pukul setengah 6 pagi, langit mulai memerah. Pertanda matahari mulai menampakkan tajinya. Gue dan teman-teman sudah yakin, kami tidak akan bisa melihat matahari terbit tepat waktu di atas. Akhirnya 400 meter sebelum puncak, kami berhenti sejenak menikmati matahari terbit di lereng puncak Rinjani.
Beberapa kali gue mendongak ke atas, mendengar keriuhan orang-orang yang sudah berada di puncak. Teriakan mereka bisa gue dengar dari sini. Kerumunan orang bisa gue lihat dari sini, tapi rasanya jauh sekali.
Gue nggak nyampe nyampe!
Puncak Rinjani sepertinya tidak pernah akan gue gapai. Akhirnya gue cuma bisa pasrah, menunduk ke bawah.
Satu langkah, demi satu langkah. Begitu terus.
Beberapa kali gue dilewati pendaki yang sudah turun dari puncak.
“Come on, you can do it! The view is amazing up there.” kata seorang bule yang melewati gue untuk turun ke bawah.
Gue hanya bisa menarik napas, dan kembali berjalan.
Satu langkah demi satu langkah.
Dan sekitar pukul setengah tujuh pagi, gue menjadi orang pertama dari kelompok kami yang bisa naik ke puncak. Disusul teman gue Arif, beberapa langkah di belakang,
Dan di sanalah gue.
Duduk di sebuah batu, dengan badan bermandi keringat, dan hangatnya sinar matahari yang mulai menyelimuti badan.
Tiga ribu tujuh ratus dua puluh enam meter dari permukaan laut, gue menangis.
Di situ lah untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, gue menangis tersedu-sedu.
I weep like a baby.
Emosi gue campur aduk.
Semua kelelahan, perjuangan, kegembiraan, terbayar sudah dengan gue mencapai puncak Rinjani pagi ini. Semua langsung bercampur dengan flashback penolakan, kekecewaan, under-estimate, ‘you-are-not-good-enoughs’ yang pernah gue terima.
And yet, here I am. Berdiri tegak di salah satu puncak tertinggi di Indonesia.
Mereka benar. Kadang untuk menemukan diri sendiri, kita harus melakukan sesuatu yang gila. Sesuatu yang tidak pernah kita lakukan sebelumnya. Untuk mengetahui seberapa hebatnya diri kita sendiri.
Sometimes, to know how good you are, you have to defeat yourself.
And Rinjani taught me that.
***
Sekarang, lima bulan setelah puncak Rinjani. Empat bulan sejak gue didiagnosa GBS. Membuat gue merasakan pengalaman ‘Rinjani summit’ sekali lagi.
Progress penyembuhan penyakit gue ternyata lebih lama dari yang gue bayangkan. Ternyata, regenerasi saraf merupakan proses yang sangat amat lambat. Progres penyembuhan tidak akan bisa dilihat harian.
Dan ini sempat membuat gue cemas.
Bayangan untuk bisa berdiri, berjalan atau bahkan berlari lagi terasa sangat jauh. Tapi gue nggak khawatir.
Rinjani sudah mengajarkan gue. Nggak perlu langsung khawatir untuk melihat puncak lagi. Nggak perlu takut akan segala kemungkinan yang belum terjadi. Nggak perlu cemas untuk masa depan.
Kekhawatiran, tidak akan menyelesaikan masalah hari esok, hanya akan menghilangkan kebahagiaan hari ini.
Yang perlu gue lakukan sekarang sama seperti saat gue mendaki Rinjani. Gue harus yakin, ‘puncak’ nya nanti akan kelihatan.
Gue sekarang hanya bisa ‘menunduk’ dan ‘berjalan’ pelan.
Selangkah demi selangkah.