Gue nggak suka ngegym.
Mungkin nggak banyak yang tau, tapi kalau dilihat dari olahraga yang gue geluti sebelum GBS, ngegym emang nggak pernah jadi bagian dari aktivitas itu.
Gue bisa jelasin logika berpikirnya. And mind you, this is my rationalization.
Hal ini mungkin sedikit banyak disebabkan oleh sifat kompetitif yang gue miliki, hampir dalam semua aspek kehidupan. Sebuah karakter yang emang nggak terlalu baik, IMO.
Begitu juga dengan pemilihan jenis olahraga. Dari dulu, gue selalu memilih olahraga yang kompetitif di mana gue bisa “mengalahkan” orang lain atau bahkan tim lain.
Itu lah kenapa olahraga yang dulu gue geluti adalah sepakbola, futsal, badminton, hingga muaythai.
Harus ada pihak yang harus jadi ‘lawan’ gue dan berusaha gue kalahkan dalam berolahraga. Keringat yang mengucur adalah sebuah efek samping.
Tapi sejak GBS, tentu kondisinya tidak bisa seperti itu lagi.
Saat ini, ngegym adalah satu-satunya olahraga yang bisa gue tekuni. Itu pun setelah berani mencoba lagi sejak delapan tahun di kursi roda.
Mundur sedikit, biar enak ceritanya.
Belakangan, gue menyadari bahwa gue semakin lemah. And I hate being weak.
Gue pernah baca kalau menginjak umur 40, laki-laki akan terbelah menjadi dua golongan.
Di umur segitu, akan terlihat jelas mana laki-laki yang rutin berolahraga dan mana yang mulai sakit-sakitan semakin lemah tergerus umur.
And fuck that, empat tahun lagi gue akan menyentuh 40 dan gue nggak mau menjadi golongan yang kedua.
Kayaknya udah cukup selama delapan tahun terakhir, gue menggantungkan harapan bahwa suatu saat kekuatan kaki gue akan kembali dan gue akan bisa berjalan lagi.
Sudah cukup banyak waktu yang gue habiskan untuk menunggu, bahwa suatu saat sebuah keajaiban akan muncul dan mengembalikan kemampuan gue berjalan.
Gue sempat berpikir, seperti halnya waktu sakit dulu, harusnya sembuhnya juga akan datang seperti sakitnya, terjadi secara tiba-tiba. Tapi ternyata tidak demikian.
Jadi setelah delapan tahun menunggu “one day”, gue memutuskan untuk memulai “day one”.
Dan ngegym adalah pilihan yang gue ambil.
Ini pun terjadi setelah gue menemukan trainer yang tepat.
Gue sudah pernah mencari dan berkonsultasi dengan beberapa personal trainer lain tentang kondisi gue. Mereka semua tampak ragu dan meminta gue untuk berkonsultasi dengan dokter dan melakukan pemeriksaan medis terlebih dahulu sebelum memulai latihan.
Mungkin bukan sepenuhnya salah mereka, kondisi penyakit gue yang langka mungkin membuat mereka takut untuk mengambil risiko.
Tapi bersama trainer gue yang ini (shoutout to Wilman!), di sesi pertama konsultasi gue, setelah gue menjelaskan apa yang terjadi ama gue, terlihat jelas wajah keyakinan di dirinya.
”Bisa mas! Ayo, gue bantu!”
He’s willing to take that risk and that’s the type of trainer that I want. Even though it comes with a price.
Jadi gimana rasanya ngegym di kursi roda?
Cape. Banget.
Ada beberapa gerakan yang membuat gue berpikir “Ini harusnya nggak sesusah ini, kan?”
Karena, anjing lah. Kaki gue lemah banget!
Gue dipaksa untuk melakukan repetisi-repetisi gerakan yang bikin otot-otot di kaki gue kembali berkontraksi setelah diam beberapa tahun.
Latihan ini kembali mengingatkan kenapa gue nggak suka ngegym. Karena di gym, ‘lawan’ yang gue harus kalahkan adalah diri gue sendiri. Dan itu lebih susah.
Gue ‘dipaksa’ terus menarik besi-besi itu meski tau otot-otot gue sudah nyeri karena penuh dengan asam laktat yang bikin sakit.
DOMS (Delayed Onset Muscle Soreness) menjadi makanan rutin gue setelah latihan.
Efeknya apa?
Badan gue berasa digebukin setiap kali abis latihan. Dan tentu saja, tidur menjadi lebih cepat dan lebih nyenyak.
Di sisi lain, ngegym di kursi roda tampaknya masih menjadi hal yang aneh buat orang Indonesia. Sejak pertama kali latihan, sudah beberapa orang yang tersenyum dan mengacungkan jempol ketika melihat gue latihan.
Termasuk owner dari gym yang gue ikuti ini. Beberapa kali dia tersenyum dan mengajak gue ngobrol setiap kali gue memasuki gym dengan kursi roda gue.
Determinasi gue untuk tetap kuat dan menolak untuk jadi lemah sepertinya insipiratif untuk orang lain.
Gue nggak ada maksud begitu sebenarnya, gue hanya merasa kondisi gue saat ini nggak bikin gue bahagia. Dan harus ada yang berubah.
Di sisi lain, ada level independensi yang lebih tinggi yang pengen gue raih.
Gue pengen gue nggak terlalu tergantung lagi terhadap kursi roda ataupun bantuan orang lain.
That’s it. No more, no less.
Menjadi lebih kuat menjadi salah satu fitur penting dalam Project Tirta yang lagi gue jalanin.
Dan seberapa pun bencinya gue untuk bangun pagi demi sarapan besi, sepertinya ngegym akan terus gue lakukan untuk beberapa saat ke depan.
Karena dunia nggak akan berhenti demi menunggu gue bisa berdiri lagi.
Jadi, sepertinya selama beberapa bulan ke depan, gue akan terus menjalani ngegym ini meskipun dengan “Ya Allah Ya Allah” setiap harinya.