Friza Giffari Djufri. Tapi di rumah kami memanggilnya Gery.
Dia adik lelaki gue, yang dulu sering gue paksa untuk mijitin kepala gue waktu dia masih kecil. Sebagai imbalan karena gue sudah menjemputnya dari mengaji.
Karakter Gery jauh berbeda dengan karakter semua laki-laki lain yang ada di rumah gue, kayak nggak ada mirip-miripnya gitu.
Nggak seperti Bokap yang keras khas lelaki Sumatera, Gery adalah lelaki yang sikapnya paling halus di rumah.
I honestly can’t tell you if I ever seen him angry. Pissed off about something? Maybe. But mad about something? Never.
Itu lah sebabnya dia disukai semua keponakan kami, anak-anak kecil suka banget nempel ama Gery. Not me, but him.
“Om Gery om yang paling baik” kata keponakan gue sekali waktu.
Dia bukan pula orang yang gila olahraga seperti gue. Jangan coba-coba ajak ngobrol tentang sepakbola, basket, badminton atau olaharaga apapun. Gue bahkan tau pasti dia nggak bisa main bola.
Kesamaan gue dan Gery hanya di urusan traveling. Maklum, sebagai sesama anak yang tumbuh besar di pojok negara Indonesia, sepertinya sayang kalau dunia yang luas ini tidak dijelajahi.
“Nanti Gery mau traveling juga deh kayak Abeng” katanya waktu itu saat melihat gue mulai traveling setelah gue berhasil mencari uang sendiri.
And that’s what he did.
Setelah dia bisa menghasilkan Rupiah dari keringatnya sendiri, away he went.
Singapore, Jakarta, Bali, Sydney, Melbourne, dan beberapa kota lain langsung dijajalnya. Dan sepertinya, dia mewarisi kebiasaan buruk gue di mana kami nggak pernah ngabarin orang rumah saat mau bepergian.
Kabar Gery pergi ke sini atau ke sana, hanya bisa kita tau dari postingan Instagramnya.
Jadi ketika gue menerima kabar kalau Gery sakit, gue setengah tidak percaya. Karena yang rutin gue liat dari media sosialnya, dia masih rajin traveling dan aktivitas normal. Obrolan via whatsapp yang kami lakukan pun biasa aja.
“Jadi ternyata udah setahun ke belakang dia mengeluh sakit kepala. Cuma nggak pernah bilang ama Ayah, jadi Ayah nggak tau.” kata Ayah melalui sambungan telepon ke gue, sesaat setelah mendengar penjelasan dokter.
“Trus gimana, Yah?”
“Mau kita bawa ke Penang pun nggak bisa. Malaysia udah lockdown. Jadi kita usahakan pengobatan maksimal di sini aja.” kata Ayah.
Gue setuju, kondisi sekarang sangat tidak ideal untuk bepergian mencari layanan kesehatan yang lebih baik.
Dan setelah 3 minggu di rumah sakit, kemarin Ayah mengabarkan di grup.
“Minta doanya anak-anak Ayah untuk Gery, kondisinya kritis lagi.”
Memang ini bukanlah yang pertama kali terjadi, tapi sebelumnya kondisi-kondisi kritisnya yang selalu bisa dilewati.
Gery is a survivor!
Tapi kali ini berbeda. Tidak lama setelah itu, sebuah panggilan grup untuk videocall masuk ke handphone gue. Gue dan Kakak di Jakarta, Geby di Melbourne.
Dari layar kami bisa melihat bahwa Gery sudah tidak sadarkan diri. Tangan, hidung dan mulutnya dipenuhi selang. Dadanya turun naik pelan di balik baju pasien berwarna hijau itu. Napasnya sudah putus satu satu.
Yang kami dengar dari ruangan hanya bunyi alat-alat elektronik penopang hidup Gery yang berbunyi bergantian. Gue bisa melihat Ayah dan Bunda duduk bersimpuh di sebelah kiri kanan Gery. Membisikkan kata-kata yang gue nggak pernah tau apa.
Dan sekitar 1 jam kemudian, kepanikan mulai terasa di ruangan itu. Beberapa perawat mulai menyerbu masuk ke dalam ruangan. Napas Gery semakin pelan, frekuensinya sudah berkurang jauh.
Gue bisa melihat Ayah membungkuk untuk membisikkan sesuatu di telinga Gery.
Yang belakangan gue tau Ayah bilang:
“Kalau Gery sudah tidak tahan lagi, dan siap untuk pergi. Ayah sudah ikhlaskan, Nak”.
Dan seolah menunggu izin dari Ayah, tepat sesudah momen buka puasa di Jakarta, 6 Mei 2020 Gery dipanggil untuk kembali kepada-Nya.
Waktunya di dunia tunai sudah.
***
Gue nggak bisa cerita secara mendetil bagaimana rasanya kehilangan seorang saudara di usia muda. Ketika kehilangan orangtua, mungkin kita lebih mengenang ke hal-hal yang sudah pernah kita lakukan.
Kenangan-kenangan manis masa lalu yang sudah dilewati sama-sama
Tapi ketika kehilangan saudara, rasa kehilangan yang masuk ke dalam hati itu berbeda. Mimpi-mimpi yang gagal untuk melakukan kegiatan bersama-sama di masa depan lah yang terasa lebih mendominasi.
Mimpi untuk melihatnya menikah nanti, punya anak, atau rencana saling mengunjungi ketika Lebaran, menjadi hal yang tidak mungkin lagi dilakukan.
And that feeling kills.
Gue nggak tau betapa Gery ternyata menjadikan gue sebagai panutan dalam hidupnya.
Memang, beberapa kali Gery sempat bilang kalau dia senang ketika dia tau ada teman-temannya yang ngomongin cuitan Twitter gue atau membaca buku gue di depannya.
“Tapi mereka tau Abeng abangnya Gery?” tanya gue.
“Ada yang tau, ada yang nggak. Nggak perlu dikasi tau, tapi seru aja” timpalnya.
Gue kira cuma sebatas itu saja, sampai akhirnya masuk sebuah DM ke Twitter gue kemarin.
Sebagai anak laki-laki tertua di keluarga, gue selalu berusaha agar bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik gue.
I always try to do my best, despite of all my limitations. To achieve higher education, to act rational, to be responsible, and always be able to get up every time life knocks you down.
Karena gue tau, sedikit banyak, apa yang gue lakukan akan menjadi contoh bagi adik-adik gue lainnya. Dan selama bertahun-tahun ini gue selalu bertanya:
Am I a good older brother? Am I doing good enough?
Dan menerima sebuah pengakuan seperti ini, sedikit rasa penasaran itu bisa terjawab. It makes me happy knowing that never-give-up attitude is still in Gery even on his last days.
Abang bangga ama Gery.
Jadi sekarang istirahat lah, Dek.
Biar Abang tetap di sini menjaga Ayah, Bunda, Kak Lara, Kak Geby dan Dek Geunta.
My battle isn’t over yet.
Isitrahat lah, sampai nanti kita sekeluarga bisa berkumpul lagi. Tertawa bersama di meja makan rotan, seperti dulu yang pernah kita lakukan.