Kalian tau nggak olahraga Curling?
Gue juga nggak tau terlalu banyak mengenai olahraga ini. Yang gue tau, olahraga ini merupakan olahraga yang biasanya dimainkan di Olimpiade musim dingin. Menjadi hal yang logis, mengingat lantai dari lapangan yang digunakan (atau lazim disebut curling sheet) terbuat dari es.
Setau gue, Curling dimainkan oleh beberapa orang.
Satu bertindak sebagai orang yang memegang bola yang sebenarnya berupa batu berat yang sudah dipoles, seperti pitcher di baseball, dan beberapa orang lainnya memegang semacam gagang pel yang bertujuan untuk menggosok lantainya begitu bolanya dilepaskan oleh pitcher dari ujung lapangan.
Tujuannya sederhana, untuk mengurangi gesekan atau friksi antara batu tersebut dengan lantai. Sehingga bola yang dilepaskan pitcher tadi bisa bergulir mulus menuju target. Tanpa suara, tanpa gesekan.
Dan sepertinya, siapa yang bisa melepaskan bola paling dekat dengan target, atau dengan posisi yang paling sulit untuk lawannya mendapatkan posisi yang lebih baik, mendapatkan poin paling tinggi dan menjadi pemenang dari permainan ini.
That’s it.
Cuma itu yang gue tau tentang Curling. Gue harap di titik ini kalian udah tau olahraga apa yang gue omongin, karena kalau tidak, gue udah nggak tau lagi cara menjelaskannya via tulisan.
Olahraga ini menarik perhatian gue pada waktu gue menonton standup specialnya Dave Chappele di Netflix, di mana Dave mengganalogikan olahraga ini seperti dia menganalogikan hidupnya.
And I can relate to that shit.
Di umur gue yang sekarang, dan di kondisi gue yang sekarang, gue hampir tidak memiliki energi lebih untuk drama-drama yang ada dalam hidup.
Untuk orang-orang yang sudah follow Twitter gue dari lama, pasti sudah menyadari hal ini. Gue yang dulu selalu berkomentar untuk setiap isu yang melintas di lini masa, kini menjadi sangat selektif untuk mengeluarkan pendapat.
Energi gue sudah habis untuk hal-hal di luar media sosial.
Untuk beberapa orang yang sempat komplain ke gue, hal ini malah disayangkan. Karena menurut mereka, perspektif gue terhadap suatu isu itulah yang menarik. Yang menjadi alasan utama mereka mem-follow gue.
Entahlah.
But hey, people change.
And now, I pick my battles carefully.
Prinsip itu gue pakai nggak semata untuk kehidupan di media sosial aja. Hal ini juga berlaku untuk urusan asmara, hubungan personal, pertemanan, bahkan hubungan persaudaraan.
Sebisa mungkin, gue menghindari drama.
Gue dengan tegas menolak untuk di-invite ke dalam grup whatsapp keluarga besar yang gue tau bertaburan hoax di dalamnya. Ketika semua orang bilang ‘gpp, di-mute aja nanti. Gak enak.”, gue belajar untuk berani mengatakan tidak.
Ketenangan batin gue sekarang lebih utama.
Dan itu juga berlaku orang-orang yang telah memutuskan untuk pindah. Sebisa mungkin gue akan menghindari drama. Karena mungkin mereka hanya sekadar singgah.
Tanpa perlu kata-kata mutiara yang terlalu panjang. Tanpa perlu chat ‘kamu baik-baik ya?’ yang dikirimkan. Tanpa perlu penjelasan panjang lebar.
Karena sebenarnya, kita lah yang selama ini kecanduan drama. Percaya nggak, kalau semua peristiwa sebenarnya bersifat netral. Dan merupakan kebiasaan kitalah yang melekatkan emosi ke dalamnya. Baik positif ataupun negatif.
Kebiasaan menempelkan drama itu lah yang sebenarnya menguras energi. Karena biasanya akan disusul oleh pertanyaan-pertanyaan ‘what if…”
Drama akan memicu ketakutan, dan ketakutan akan mempengaruhi tindakan.
Jadi menurut gue, ketika kita bisa melepaskan emosi dalam suatu peristiwa, itu tandanya kita sudah mendewasa. Sudah bisa melepaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang sebenarnya kita buat sendiri.
Sehingga kita bisa meliha semuanya secara objektif. Secara gamblang. Agar bisa lebih fokus ke tujuan-tujuan hidup yang sebenarnya sudah ditetapkan di awal.
Jadi, pisahkan drama dari hidup.
Ketika seseorang berniat untuk pergi, maka lepaskan pelan-pelan. Tanpa friksi atau gesekan.
Seperti bola Curling yang berusaha mencapai tujuan.