Gue adalah orang yang nggak religius.
Mari kita mulai dengan statement itu. Gue nggak mau pembaca tulisan ini nanti menyangka kalau gue adalah orang baik yang nggak pernah bolong sholat lima waktu.
Meskipun berbekal pendidikan agama yang baik (gue adalah santriwan terbaik di tempat gue ngaji waktu SMP, mind you), gue semakin jauh dari agama sejak dewasa.
Bukan sebuah hal yang bisa dibanggakan sebenarnya, but let’s keep reading for the sake of the story.
Dan puncaknya adalah ketika gue sakit GBS. Gue ngambek ama Allah.
Gue ngerasa ketika hidup gue harusnya udah bisa lebih mudah (dengan segala perjuangan yang sudah gue lewati dari kecil – financially, emotionally, you name it!), gue malah dikasi cobaan terbesar dalam hidup.
Titik di mana gue sudah menyelesaikan S2, hidup yang harusnya mulai bisa dilalui dengan easy mode, kerjaan yang sudah stabil, gue malah lumpuh nggak bisa jalan.
Gue ngambek. Dan sebagai bentuk protes, gue berhenti sholat.
Keluarga gue udah tau. Datang dari keluarga Aceh yang terkenal dengan prinsip menjunjung tinggi agama, mereka juga sepertinya udah lelah buat ngasih tau gue.
Bokap gue kadang cuma menghela napas ketika ngeliat malah gue goler-goleran di saat waktu sholat tiba.
“Sholat lah, Nak!” kata dia kadang dengan pesimisme yang tersisa.
“Ya yah” kata gue tanpa berusaha membantah.
Jadi ketika Ayah mengajak gue umroh, gue bisa menolaknya dengan mudah sekali.
Tapi belakangan, gue mulai berubah pikiran. Mimi talked me through it.
“Pergi lah sana, Bang. Minta kesembuhan di sana. Siapa tau diberikan kesembuhan..”
“Kalau kau umroh, kau jadi anak pertama yang umroh sama Ayahmu. Ayahmu udah tua. Kapan lagi diberikan kesempatan..”
“Kan mumpung perginya ama anak-anak Pramuka, jadi nanti banyak yang bisa bantuin. Bisa kok kita nanti minta tolong ama mereka..”
“Toh Mimi juga berangkat, kan. Nanti Mimi juga bantuin..”
“Duitmu kan ada. Siapa tau nanti makin dilimpahkan rejekinya..”
Gotta admit it, Mimi is a smooth talker. Dengan level reasoning sedalam itu, gue jadi nggak punya alasan jelas untuk nggak pergi.
So, yeah. I decided to go.
Nggak tau gimana nanti fasilitas di sana, gue percayakan kepada travel umrohnya. Gue yakin, gue bukannya satu-satunya jemaah kursi roda yang pernah pergi ke sana, kan?
Toh ini kan cuma seperti wisata pergi ke sebuah negara. I need a long-overdue vacation anyway.
Meskipun begitu, bokap gue malah marah-marah ketika gue bilang ini wisata.
“Kita ke sana mau ibadah. Kok malah wisata, sih?!”
But in my argument, berbeda dengan haji yang punya urutan atau rukun yang harus dijalankan, umroh lebih mirip sebuah perjalanan wisata religi, di mana kita bebas menentukan kita mau ke mana.
Kalau capek, ya tinggal balik ke kamar hotel.
Wisata, kan?
Another reason why I think I need to go, is to release the anger in me.
Gue ngerasa rasa marah itu sudah terlalu lama berdiam di dalam hati. Terlebih dengan kejadian yang menyangkut relationship gue terakhir.
I need to let go (some of) the anger. Rasa marah yang lama-lama bikin gue jadi bitter banget dalam ngeliat dunia.
Gue berharap dengan gue pergi ke sana, setidaknya gue bisa minta biar rasa marah ini sedikit berkurang. Atau setidaknya, gue diberikan rasa ikhlas dan kesabaran yang lebih dalam.
That’s it. No more, no less.
Tapi tampaknya hal itu tidak akan berjalan dengan mudah.
Malam pertama ketika gue menginjakkan kaki di bandara Madinah, kursi roda gue patah.
Iya, sasisnya patah.
Besi kokoh horizontal yang menyangga berat badan ketika kita duduk di atas kursi roda itu, patah di bagian kiri kanan. Kursi roda yang sama yang selama delapan tahun terakhir gue gunakan secara baik-baik saja di Indonesia, harus menyerah dengan airport handling orang Arab di malam pertama gue tiba di Madinah.
Gue udah berhenti mempertanyakan ‘kok bisa?’ dan pasrah menerima kondisi itu.
Gue pun harus tergopoh-gopoh keluar dari bandara tanpa kursi roda. Berjalan pelan ke bus (iya, bus) yang sudah disiapkan. Dan FYI, bus di sana adalah tipe bus double decker yang mana bagian tempat duduk penumpang ada di bagian atas.
Gue menggunakan semua kekuatan upper body gue untuk mengangkat badan gue memasuki bus di sana. Setelah dua menit meletakkan pantat di kursi bus, dengan keringat yang masih mengucur dari dahi dan punggung, petugas travelnya masuk dan berteriak..
“Bapak-bapak…Ibu-ibu, mohon maaf. Bus kita bukan yang ini. Silakan pindah ke bus yang di sebelah..”
Fffffuuuuuuuckckkckk!!!
Gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Dengan pasrah, gue pelan-pelan turun dan kembali memanjat bus di sebelah.
“Kita lagi ibadah..” somehow kata-kata bokap gue terus tertanam di dalam hati.
Mimi yang melihat gue kesusahan dan kepanasan terus memberikan sugesti positif.
‘Sabar ya, Bang. Sabar ya…”
Di logika gue, situasi apa yang bisa gue lakukan di kondisi kayak gini selain sabar dan berusaha?
Dan bayangin aja, jika gue bisa cranky di Indonesia, bayangkan gimana level cranky yang bisa gue alami di Arab dengan suhu yang berkisar antara 38 sampai 42 derajat celcius.
Dengan cuaca sepanas itu, hembusan angin terasa seperti apa, ya? Oia, terasa seperti semburan asap knalpot di muka!
Serius, simulasi pergi ke Arab Saudi bisa lo lakukan dengan naro muka lo di depan knalpot mobil terus nyalakan mesinnya.
Nah, gitu rasanya.
Tapi entah kenapa, gue ngerasa…biasa aja.
Entah karena sugesti ‘lagi ibadah’ yang mulai tertanam di kepala, atau ada campur tangan divine power yang pelan-pelan mulai melunakkan hati.
Gue nggak tau.
Hari-hari di Madinah selanjutnya berjalan tanpa ada kejutan yang berarti.
Seperti dugaaan gue, umroh adalah sebuah perjalanan wisata religi di mana kita mengisi kegiatan dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah, tempat belanja dan melakukan sholat di Mesjid Nabawi di sela-sela kegiatan tersebut.
Setiap waktu sholat lima waktu tiba, gue berusaha untuk menyeret pantat pemalas ini keluar dari dinginnya kamar hotel dan pergi ke Nabawi.
Dengan kursi roda pinjaman dari hotel (yang bannya sudah godek-godek susah untuk didorong), gue berusaha beranjak ke Nabawi.
Menembus jalanan Madinah berdua bersama bokap dengan muka yang secara konsisten terpapar angin hembusan asap knalpot tadi.
Bergerak secara perlahan dengan dorongan kekuatan lengan, berusaha mengusir rasa marah di dalam hati.
Dan bagian terbaik di Madinah adalah mengunjungi Raudhah. Bagian yang mungkin dianggap paling sakral, bagian kecil di antara makam dan mimbar yang digunakan Nabi Muhammad dulu, yang berada di dalam Masjid Nabawi.
Di Raudhah, yang katanya adalah bagian dari taman surga, di mana doa-doa kita akan dikabulkan oleh Allah. Itu adalah tempat paling banyak diidamkan oleh jemaah umroh dari seluruh dunia untuk berdoa dan meminta sesuatu.
Mengetahui hal itu, setelah giliran untuk travel kami mengunjungi Raudhah, gue lumayan excited untuk masuk ke tempat ini.
Gimana ya deskripsi yang tepat untuk menjelaskan Raudhah?
Sebenarnya ini cuma bagian dalam sebuah masjid aja.
Dengan karpet berwarna hijau untuk membedakannya dengan bagian masjid yang lain. Di satu sisi, ada makam Nabi Muhammad dan di sisi lain ada sebuah mimbar yang berdiri seperti sebuah balkon di dalam masjid.
Kondisinya disekat-sekat dan berpagar untuk mengatur jemaah yang jumlahnya ribuan itu agar tidak menerobos masuk.
Dan satu hal yang langsung gue sadari ketika masuk, Raudhah itu wangi sekali.
Bukan, bukan wangi stella jeruk. Tapi lebih soft dan sopan menyapa hidung ketika tercium.
Gue nggak bisa jelasin. Tapi jelas tercium wangi yang menenangkan ketika memasuki Raudhah.
Ketika kursi roda gue bergulir melewati karpet tebal itu, seorang petugas yang berjaga di sana langsung bicara “Sembuh, tabarakallah” sambil tersenyum ke arah gue.
Untuk yang nggak tau, kalimat Tabarakallah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah ‘Semoga Allah memberkatimu atau memberkahimu.”
Dan dengan gesture sesederhana dari orang asing itu, maka melunaklah hati gue. Raudhah menjadi bagian favorit gue di Madinah.
Bagian untuk pengguna kursi roda sedikit terpisah dengan jemaah yang lain. Dan kali ini, gue ditempatkan tepat berada di bawah bagian mimbar (balkon tadi) di mana Rasulullah dulu berdakwah di masjid ini.
Dan selama 10 menit gue berada di Raudhah, maka itu menjadi salah satu waktu yang paling privat yang pernah gue alami.
Berusaha meluruhkan semua ego, dengan rasa sungguh-sungguh dan kerendahan hati, gue meminta beberapa hal dan menyebutkan beberapa nama kepada Nya.
Dan dengan itu, Raudhah menjadi penutup cerita Madinah gue.
***
Di minggu kedua, di sini lah inti sebuah perjalanan umroh dilakukan.
Kami beranjak memasuki Mekkah, berniat melakukan sebuah perjalan umroh, lengkap dengan pakaian ihram dan tidak lagi melakukan hal-hal yang dilarang selama umroh (memotong kuku, menyukur rambut, berpikiran ngeres, dll).
Dengan keluar dari Madinah sekitar pukul 2 siang, kira-kira perjalanan umroh akan berakhir dini hari di dalam Masjidil Haram, Mekkah.
Dan di sini lah pengetahuan terbatas gue tentang umroh diuji.
Gue baru tau, untuk pria, ternyata saat menggunakan pakaian ihram (dua lembar kain putih yang dililitkan ke badan) kita tidak diperbolehkan menggunakan apa-apa lagi.
Gue kirain untuk kolor masih boleh lah, but we must go commando while wearing ihram.
So during that time, my balls are hanging free!
Dan sebuah rukun umroh yang wajib dilakukan adalah tawaf. Mengelilingi Ka’bah di dalam Masjidil Haram selama 7 kali.
Dari hotel di Mekkah, setelah selesai makan malam dan berwudhu, gue langsung bergegas ke Masjidil Haram untuk memulai rangkaian umroh gue.
Hotel gue agak jauh dari Masjidil Haram dan sangat tidak wheelchair friendly. Untuk turun saja payah, dan dikombinasikan dengan padatnya jemaah yang juga akan pergi ke masjid, gue harus menyelinap sedemikian rupa di trotoar yang dipenuhi manusia.
Area Masjidil Haram itu ramainya kayak bubaran konser di GBK, yang terjadi 5 kali dalam sehari. Ramainya segitunya.
Udah kebayang, kan?
Kondisi ini diperparah dengan pedagang-pedagang yang membuka lapak mereka secara sembarangan di trotoar. Berantakan aja gitu barang dagangan ditebar di jalan.
Mulai dari souvenir, baju gamis, peci, hingga kurma dijajakan di sana.
“Murah.. murah… Jokowi… Jokowi… lima puluh ribu…lima puluh ribu!” teriak para pedagang itu menyasar jemaah Indonesia.
Di kursi roda, gue bermanuver kiri kanan menghindari kaki jemaah, lapak kurma dan baju gamis dengan kondisi biji gundal gandul mengayun bebas.
Gue udah set ekspektasi gue untuk momen di mana gue akan pertama kali melihat Ka’bah. Kotak berwarna hitam yang selama ini menjadi penunjuk arah bagi satu miliar lebih umat muslim di dunia ketika sholat.
Beberapa orang udah mewanti-wanti gue.. “nanti pasti nangis lo pas liat Ka’bah”
Gue enggak tau, mungkin iya. Gue bisa summit ke puncak Rinjani aja mewek, gimana kalau liat Ka’bah?
Tapi pikiran-pikiran itu berusaha gue hilangkan. Gue hanya ingin segera menyelesaikan prosesi umroh ini, balik ke hotel dan tidur.
Prosesi ini sudah berlangsung lebih dari setengah hari dan gue lelah sekali.
Khusus di Masjidil Haram, karena jumlah pengunjungnya yang jauh lebih banyak dari Nabawi, setiap pengguna kursi roda harus didampingi pemandu dalam melakukan tawaf.
Lokasinya pun terpisah di lantai dua. Berbeda dengan jemaah lainnya yang bisa langsung mengelilingi Ka’bah lebih dekat tanpa sekat.
Dari pelataran masjid, gue masih belum bisa melihat Ka’bah, yang ada hanyalah sebuah masjid luar biasa megah dengan puluhan ribu jamaah yang ingin beribadah.
Padahal, kondisinya sudah hampir mendekati tengah malam.
Gue didorong oleh pemandu gue menuju lantai dua. Di sini pun Ka’bah masih belum juga terlihat, masih tertutupi oleh sekat-sekat pengerjaan konstruksi di dalam area masjid.
Masjidil Haram memang akan terus mengalami proyek-proyek konstruksi perluasan area masjid demi bisa menampung lebih banyak jemaah lagi. Entah sampai kapan.
Gue melempar pandangan ke sekitar dan masih belum bisa menemukan Ka’bah. Sementara itu, pendamping gue mulai memberikan instruksi apa-apa saja yang harus gue lakukan selama proses tawaf ini.
Karena penasaran, akhirnya gue bertanya…
“Emang Ka’bah nya mana?”
“Oh, abang belum keliatan ya? Di sini emang ketutup, bang, coba liat dari sini..”
Dia lalu menggeser kursi roda gue ke arah yang lebih terbuka. Dan di area balkon lantai dua Masjidil Haram ini, gue sekarang bisa melihatnya dengan jelas.
It’s bigger than I thought.
Kotak hitam itu ada di sana. Lebih besar dari yang gue bayangkan.
Dikelilingi oleh menara-menara dan gedung-gedung tinggi. Di satu sisi, terlihat Makkah Royal Clock Tower, bangunan tertinggi di area ini, berdiri dengan gagah. Lengkap dengan jam raksasa berwarna hijaunya.
Sekarang hampir tengah malam, tapi puluhan ribu jemaah masih mengelilingi Ka’bah, bergerak berlawanan dengan arah jarum jam. Suara dengungan halus terdengar dari puluhan ribu mulut yang sedang memanjatkan doa-doa.
Langit Mekkah yang hitam legam tampak kontras dengan terangnya pencahayaan di area masjid. Sesekali, gue bisa melihat segerombolan burung terbang rendah mendekati Ka’bah, lalu kembali terbang tinggi mengangkasa entah kemana.
Dan harus diakui, Ka’bah memang terasa magis. Memandangi tempat ini, seperti ada sentuhan dari sebuah kekuatan yang lebih tinggi yang menyentuh hati.
You can definitely feel the divine power in this place.
Dan anehnya, sekarang gue merasa kecil sekali. I feel powerless.
“Ayo bang, kita mulai tawafnya ya?” kata pemandu gue.
“Nah mulai dari sini, abang baca doa ini ya…” katanya sambil melafalkan doa-doa yang ada di buku panduan umroh kami. Dia aja nggak hapal, apalagi gue.
Pikiran gue nggak seratus persen bisa mengikuti. Sebagian melafalkan doa-doa tersebut. Sebagian lagi flashback ke hal-hal yang terjadi dalam hidup gue.
All the struggles, achievements, the disease, GBS, the pain, the betrayals, the recovery, the letting go, semua tercampur aduk di dalam perut.
Semuanya bercampur baur dan terkulminasi dalam sebuah pengalaman perjalanan spiritual kali ini.
Pemandu gue terus mendorong kursi roda ini. Mulai dari putaran pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Doa-doa yang dibacakan relatif sama dan berulang.
Di sekeliling, gue bisa melihat jemaah lain yang sedang melakukan ritual yang sama. Masing-masing didorong oleh pemandu tawaf seperti yang menemani gue. Satu hal yang membedakan, gue adalah pengguna kursi roda paling muda malam ini.
Lainnya sudah sepuh dan dalam kondisi yang lebih ringkih daripada gue.
Selesai melafalkan doa-doa yang disunnahkan ketika tawaf, gue sempatkan untuk menyelipkan beberapa permintaan pribadi. Gue selipkan juga beberapa nama di sana.
Dan sisa tawaf, gue jalani sambil melihat ke arah kiri, Ka’bah yang berdiri kokoh di luar sana.
“Udah bang, prosesi tawaf kita udah selesai.“
“Abang mau air zam-zam?” tanyanya.
Gue hanya menganggukkan kepala tanda sebuah persetujuan. Pemandu gue langsung bergegas mengambilkan segelas air zam-zam dari sekian banyak tempat minum yang tersedia di area masjid ini.
Dengan tangan kanan, gue ambil gelas itu lalu meneguknya tanpa jeda.
Segar sekali.
“Udah bang? Kita lanjut sa’i, ya?” katanya sambil meraih gelas kosong di tangan gue.
“Yuk!” kata gue.
Dia lalu menarik kursi roda gue menjauh dari area tawaf ini. Kami siap beranjak untuk melakukan sa’i, yakni proses berjalan bolak-balik antara bukit Safa dan Marwah.
Ketika mendekati pintu keluar, gue sekali lagi berbalik dan menoleh ke belakang.
Di dalam hati, beberapa kalimat terakhir gue ucapkan dalam diam.
“Kusebutkan beberapa permintaanku di sini. Di rumah-Mu, kucurahkan semua kegelisahanku dan ketakutanku. Dan aku berharap, cukupkan lah amarahku sampai di sini..”
Dan tiba-tiba, seperti aliran air zam-zam yang mulai mengaliri dan membasahi kerongkongan yang tadi sempat kering. Sebuah perasaan dingin mulai menyelinap ke dalam hati.
Di Masjidil Haram mendekati dini hari, kini aku sudah tidak marah lagi.
Feel like, ikut disamping ikutan Umroh huhuhu
Ah… Catatan perjalanan yang indah.
Mewek aku bacanya. Semoga suatu hari saya juga bisa mendapatkan kesempatan untuk berumroh. To let go all my anger