“Iya, ini lagi nunggu visa Schengen nya. Udah apply sih. Biar bisa euro trip libur kali ini” kata gue di salah satu sesi facetime kami.
Begitu semua awalnya bermula. Chatting gue dengan Sepatu Kiri.
Komunikasi yang dulu pernah berjalan sangat intens, kini sudah sangat jarang sekali terjadi. Bentuknya bisa hanya sekedar pertanyaan “kamu apa kabar?” via aplikasi chatting berwarna hijau sebulan sekali atau sesi Facetime seperti ini. Gue kini sepenuhnya paham kalau jarak memang bisa membunuh perasaan.
“Seru banget! Ke negara apa aja?” katanya penasaran.
“Amsterdam, Berlin, Budapest, Roma ….”
“Wait..wait… kamu… ke Budapest tanggal berapa?” dia memotong gue sebelum gue selesai bicara.
“Tanggal 13 sore sampai 16 April, tiga hari. Jadi ulang tahunku nanti di sana”
“Aku juga di Budapest, tanggal segitu…”
DHEG!
Darah gue langsung berdesir.
Sama seperti gue, di Easter break kali ini, dia juga sedang melakukan euro trip bersama teman-temannya. Bedanya, jika gue memulai dari Eropa Barat, dia akan memulai perjalanannya dari Eropa Timur. Krakov, Warsaw, Vienna dan berakhir di Eropa Tengah, Budapest.
“…tapi aku udah di sana dari tanggal 11 sampe tanggal 14. Tanggal 14 siang udah balik. Jadi paling cuma bisa ketemu sehari.”
Dia memulai perjalanannya lebih awal dari gue.
“Iya gpp. Nanti kita ketemuan di sana?” kata gue
“Okay!”
“Really?” gue meyakinkan
“Why not?”
Gue cuma diam. So, is it a promise?
“Okay, I’ll let you know if I already got my visa then.” kata gue menutup percakapan.
Gue benar-benar nggak menyangka kalau frekuensi interaksi kami yang sudah jauh berkurang kini harus dikejutkan dengan kabar seperti ini.
But anyway, I guess we will meet somewhere in the Central Europe.
Dan ada sesuatu yang aneh mulai masuk ke dalam hati gue. Rasa excited yang muncul entah dari mana.
***
Udara di Aberdeen mulai menghangat. Ini bisa terlihat dari mulai bermekarannya bunga dan pucuk daun di pepohonan pertanda musim semi akan segera tiba.
Satu per satu, gue melihat para pelajar meninggalkan kompleks akomodasi kampus untuk liburan Paskah mereka. Kompleks yang biasanya riuh rendah diisi ribuan mahasiswa ini sekarang terasa sepi. Hanya terlihat beberapa orang yang berlalu lalang di luar sana.
Dan gue cuma bisa menghabiskan hari dengan uring-uringan di kamar, menunggu kabar visa Schengen gue yang tidak kunjung keluar dari kedutaan Belanda.
Ding!
Gue melongok ke hp yang tadi tergeletak di meja. Layarnya yang tadi menghitam kini dihiasi satu notifikasi chatting yang muncul ke permukaan layar.
“See you in Budapest Tirta :)”
Hanya satu. Hanya sebaris. Tapi cukup untuk membuat gue berdebar semangat.
Now please give me my goddamn visa!
***
“Welcome, to Budapest, Hungary. The current weather…”
Suara pramugari dari pengeras suara menyadarkan dari lamunan gue. Penerbangan singkat dari Berlin benar-benar tidak terasa, tidak lebih dari dua jam. Budapest adalah kota ke dua yang gue singgahi dalam rangkaian eurotrip kali ini.
Visa yang telat keluar membuat gue harus melewatkan Amsterdam dan langsung menyusul teman-teman gue di Berlin.
Hanya sehari di Berlin, gue cuma sempat untuk melihat dan mengunjungi beberapa tempat terkenal di Berlin seperti mengikuti river cruise dan pergi ke Berlin Brandenburger Tor.
Dan kini Budapest menanti gue.
“Let’s go to the hotel first, and from there we decide what should we do next.” teman gue Olivier menyarankan.
“No problem with me..” kata gue singkat.
Gue sebenarnya tidak peduli kemana tujuan kami kali ini. Karena yang di pikiran gue cuma satu. I will meet her today.
Indahnya bangunan-bangunan di Budapest seolah menjadi nggak menarik buat gue. Nuansa Eropa Tengah yang mengalir kental di jalanan Budapest tidak bisa menghilangkan rasa gugup gue. Gue hanya berusaha menenangkan diri, karena bisa saja gue berpapasan dengannya di kota ini tanpa terencana.
Dia yang beberapa kali menjadi tulisan di blog ini. Dia yang pernah dekat tapi terasa jauh pada saat bersamaan. Dia yang sudah setahun tidak gue jumpai secara langsung.
How is she now? Dan pertanyaan yang paling penting…
“Are you ready, Ta?”
Dari hotel, kami memutuskan untuk pergi ke Buda Castle. Sebuah kompleks istana yang dulu digunakan untuk tempat tinggal para raja. Buda Castle merupakan gabungan dari beberapa bangunan bersejarah yang terletak di atas Castle Hill, sebuah perbukitan yang menghadap langsung ke kota Budapest.
Kompleks ini merupakan bagian dari kota tua Budapest yang masih terjaga dengan baik. Di dalamnya ada beberapa bangunan istana kerajaan, beberapa hotel dan restoran yang siap menyambut semua turis yang datang.
Gue menarik keluar handphone dari dalam saku celana.
No internet connection, I can’t text her. Kartu seluler gue nggak bisa digunakan di negara ini
“Let’s find a restaurant. I want to grab some beers, and you can find a wifi” kata Olivier seolah tau pikiran gue.
Begitu sampai di restoran, password wifi adalah tujuan gue. Begitu tulisan ‘connected’ terlihat di layar, jari gue langsung mengetik cepat.
“Kamu dimana? Aku lagi di salah satu restoran di kompleks Buda Castle. Kita mau ketemu dimana?”
Beberapa lama berlalu hingga gue mendapat jawaban
“Sampe jam berapa di sana? Ketemu di Fisherman’s Bastion gimana? Itu masih dalam kompleks yang sama kok. Hapeku lowbat nih..”
“Nggak lama sih, paling setengah jam. Anak-anak lagi pada ngebir.”
“So, Fisherman’s Bastion in 30 minutes?”
“Okay.”
“Alright, I’ll wait you at the gate!”
Mata gue langsung berpaling ke kanan. Gue bisa melihat bangunan itu dari sini. Fisherman’s Bastion adalah sebuah rangkaian bangunan berupa teras yang menyerupai balkon di pinggiran tebing di dalam kompleks ini.
Dari sana, kita bisa melihat dengan jelas pemandangan ke kota Budapest, terutama ke arah Margaret Island, sebuah pulau di tengah sungai yang membelah kota Budapest menjadi dua bagian, Buda dan Pest.
Tiga puluh menit kemudian, gue berpisah dari teman-teman gue. Mereka memutuskan untuk menunggu di tempat yang lain, seolah nggak ingin mengganggu reuni kecil gue. Gue mulai melangkahkan kaki ke arah Fisherman’s Bastion.
Entah kenapa gue merasa gugup.
Kedua tangan gue masukkan ke dalam saku celana sebagai upaya sia-sia menenangkan diri. Dengan ujung mata, gue melirik ke G-Shock hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri gue. Pukul enam sore lebih sedikit, gue sudah menunggu di Fisherman’s Bastion. Pukul enam sore yang sangat cerah karena di sini matahari baru tenggelam sekitar pukul 8 malam.
Gue melemparkan pandangan sekeliling. Mencari sebuah wajar yang gue kenal.
Lima menit berlalu…
Dia terlambat. Gue mulai gelisah.
Sepuluh menit berlalu…
Gue berulang kali mengecek jam di pergelangan tangan. Dia tidak ada di sini. Apa gue menunggu di tempat yang benar?
Lima belas menit berlalu.
Gue mulai berjalan sekeliling. Mulai bertanya kepada orang-orang apakah benar bangunan ini bernama Fisherman’s Bastion. Ada tujuh menara pengawas di bangunan ini. Dan gue menaikinya satu per satu, berusaha mencarinya.
Tiga puluh lima menit berlalu.
Gue menarik keluar hp dari saku celana. Mencoba menghubungi no teleponnya. Tidak ada jawaban.
Di kejauhan, gue melihat teman-teman gue yang melambai ke arah gue. Dan gue hanya mengangkat bahu sebagai jawaban kepada mereka.
Now it’s almost seven. Terlihat teman-teman gue yang sudah mulai lapar karena ini sudah waktu makan malam. I give this place a final look. Melihat berkeliling, mencoba mencarinya sebagai upaya terakhir dalam keputusasaan.
Dan tepat ketika gue berpaling melangkah menuju teman-teman gue, sebuah panggilan terdengar dari belakang.
“Tirta!”
Gue membalikkan badan, dan di sana dia berdiri sambil tersenyum ke arah gue. Cantik sekali.
“Kan aku udah bilang ketemu di gate-nya. Gatenya itu dibawah. Aku nungguin di sana.”
Napasnya masih sedikit tersengal akibat menaiki tangga dari gerbang Fisherman’s Bastion di bawah.
Yes, the gate! I totally forgot about it.
Dan gue cuma bisa tersenyum tidak bisa berkata-kata. Dan perlahan, samar sekali, lagu Tulus kembali terdengar di telinga gue.
Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu…