Whoaaaa.. udah lama juga gue nggak nulis blog. Postingan terakhir yang ini, gue tulis sekitar bulan Agustus, jadi hampir 3 bulan nggak ada tulisan baru.
Dan hiatus menulis kali ini harus berakhir demi sebuah review; Jomblo Reboot.
Sebelum gue tulis reviewnya, pertama-tama gue harus mengucapkan terima kasih ke Kang Adhit yang sudah mengundang gue untuk bisa nonton premiere Jomblo Reboot. Ucapan terima kasih ini juga sekalian berfungsi sebagai disclaimer terhadap review yang mungkin nggak sesuai harapan Kang Adhit. Dan untuk kalian penggemar para aktor di Jomblo Reboot, brace yourself. This might be brutal.
Agar lebih menjiwai tulisan ini, sebelumnya gue akan ngasih tau betapa dekatnya Jomblo dengan hidup gue. Kalau gak salah, novel Jomblo itu pertama kali terbit tahun 2003, dan diangkat jadi film sekitar tahun 2006.
Gue pertama kali membaca buku itu tahun 2005, di tahun pertama gue kuliah di Bandung. Dan begitu membacanya, gue langsung jatuh cinta dengan ceritanya. Gue sangat bisa relate ke kehidupan tokoh-tokoh di dalamnya. Mahasiswa, jomblo, dan Bandung!
Apalagi saat tau ada tokoh yang sama-sama berasal dari Aceh yang namanya Olip. Olip digambarkan sebagai jomblo pemalu, minder untuk ngajak cewek kenalan, tapi berwatak keras. Gue sangat bisa relate ke Olip. Gue adalah Olip.
Akhirnya novel Jomblo gue rekomendasikan ke teman-teman yang lain. Dan begitu tau Jomblo akan diangkat menjadi film, gue langsung menjadi sangat-sangat bersemangat.
Masih ingat gue waktu di mana Opi (temen baik gue yang kuliah di sipil ITB) marah-marah karena isu nama kampusnya akan diganti menjadi Universitas Negeri Bandung (UNB), yang akhirnya kami tau itu cuma demi properti film semata.
Masih ingat juga gue gimana bersemangatnya gue nonton di bioskop untuk Jomblo keluar untuk pertama kalinya. Dan masih segar ingatan gue, waktu tau Jomblo bahkan akan dibuatkan tv seriesnya di RCTI (Yup, I watched that too).
Jomblo, literally, menjadi buku yang tumbuh besar bersama gue. Jomblo juga jadi salah satu buku yang membuat gue ingin menjadi penulis. Dan Jomblo juga yang menjadi pintu masuk semua karya Adhitya Mulya yang lain (Gege, Traveler’s Tale, Catatan Mahasiswa Gila, Sabtu Bersama Bapak, Bajak Laut, gue punya semuanya).
Jadi begitu tau, setelah 11 tahun, bahwa Jomblo akan bangkit dari kubur dan dijadikan film lagi, ada dua perasaan yang gue alami.
- Gue ikut senang, karena buku favorit gue akan kembali ke pasaran, kembali menghiasi bioskop, dan kembali bisa gue nikmati.
- Gue takut kecewa, kalau film yang baru akan mengkhianati ekspektasi gue. Menghancurkan semua kenangan indah yang sudah gue miliki dengan Jomblo.
Dan sepertinya, yang gue rasakan lebih banyak ke no.2
Saat pertama kali tau dari Kang Adhit kalau Jomblo Reboot ini memiliki cerita yang baru, gue langsung me-reset ekspektasi gue ke level yang paling rendah. Meskipun mau tidak mau, suka tidak suka, Jomblo Reboot (2017) akan dibandingkan dengan Jomblo (2006). Setidaknya buat gue, dan apa yang akan gue tulis di tulisan ini.
1. Cast
Kita mulai dari aspek yang paling gampang. Para pemain. Di otak gue, Agus adalah Ringgo. Doni adalah Christian Sugiono, Olip adalah Rizky Hanggono. Bimo adalah Denis. Rita adalah Richa Novisha, Asri adalah Rianti. dan Lani adalah Nadia Safira.
Sulit untuk lepas dari mereka. Kenapa?
Semua pasangan karakter dan tokoh ini terasa pas sampai ke tulang.
Karakter Agus yang dari Bandung diperankan Ringgo yang memang dari Bandung. Doni yang dari Jakarta diperankan Christian Sugiono yang emang keliatan anak Jakarta. Atau bahkan Bimo yang dari Jogja diperankan Denis yang kayaknya emang orang Jogja (atau aktingnya yang luar biasa bagus).
Semuanya terasa pas sampe ke karakter-karakter pendukung kayak Teh Guti (yang diperankan Tieke) ataupun Mulyadi (yang diperankan oleh gak tau siapa).
Pemilihan cast yang cocok dengan karakter yang pas ini akan meningkatkan rasa percaya para pembaca (atau penonton) terhadap jalan cerita. Ceritanya akan masuk akal.
Gue nggak tau siapa yang bertanggung jawab untuk proses casting untuk Jomblo, tapi pemilihan aktor dan aktris di Jomblo benar-benar pas dengan karakter yang ada di bukunya.
Perasaan ‘pas’ seperti ini juga gue rasakan dengan film Ayat-Ayat Cinta dan bukunya. Pas kan antara imajinasi di buku dengan tokoh filmnya?
Bandingkan dengan Jomblo Reboot.
Karakter Agus diperankan oleh Ge Pamungkas yang sama sekali tidak terasa seperti orang Sunda. Karakter Doni yang dari Jakarta diperankan oleh Richard Kyle yang bahkan ngomong bahasa Indonesia aja nggak lancar.
Dan yang paling nabrak, tentu saja karakter Bimo yang dari Jogja diperankan oleh Arie Kriting yang dari Papua. Tentu saja dijelaskan kalau Arie adalah anak Papua yang besar di Jogja (like it will make any difference at all).
Kuping gue berasa diiris setiap kali mendengar dialog Bimo (yang dari Jogja) ngomong dengan logat Papua yang masih sangat kental. Gue nggak anti dengan logat Papua, tapi ya kalau memang pemainnya adalah Arie Kriting, ya kenapa nggak diubah aja menjadi karakter mahasiswa yang berasal dari Papua?
Bimo has been white-washed, or in this case… java-washed.
2. Karakter
Masalah berikutnya adalah karakter. Di Jomblo Reboot sepertinya tidak punya cukup waktu untuk menumbuhkan karakter tokoh-tokohnya. Kita ambil tokoh Doni yang playboy, yang diperankan oleh Richard Kyle.
Tokoh Doni yang playboy nggak sempat tumbuh menjadi tokoh Doni yang gue tau. Nggak ada tips dan trik mendekati wanita yang diajarkan Doni kepada Agus dan Bimo. Nggak ada kelakuan penuh perhatian Doni ke perempuan-perempuan yang lewat, dan nggak ada mulut yang berbisa ala Doni yang bisa kita percaya.
Yang ada cuma potongan-potongan adegan Doni setengah telanjang bergumul dengan perempuan yang diumbar kemana-mana di sepanjang film (tiba-tiba di kamar, tiba-tiba di kolam renang, tiba-tiba di gudang).
Doni di Jomblo yang dulu (baik di buku dan di film) bisa membuat gue yakin kalau dia sudah nidurin banyak cewek tanpa harus ada adegan buka baju sedikit pun.
Dan untuk Richard Kyle. Man, I have nothing against you, really.
But someone needs to stop casting Richard as an actor. At least in Indonesia.
Richard Kyle keliatan banget kepayahan untuk mengucapkan dialog-dialog sederhana dalam bahasa Indonesia.
Kalau kata si Roy : “Kayak ada bule yang dijemput di airport trus langsung diajak ke lokasi syuting.” His words, not mine. Bangke emang si Roy.
Masalah kurang kuatnya karakter ini bukan cuma dialami Doni, tapi juga Olip, Bimo, Lani, Asri dan Rita. Gue jelasin lengkapnya di bagian plot.
3. Lokasi
Novel Jomblo itu berlokasi di Bandung dengan Universitas Negeri Bandung (yang merupakan plesetan ITB) dan Universitas Jatinangor (Unjat) yang plesetan dari Unpad.
Syutingnya pun beneran dilakukan di Bandung, Di kampus ITB, Braga, kos2an, Unpad dll.
Di Jomblo Reboot, nama kota ini menjadi fiktif tanpa mengubah nama universitasnya. Okelah, kita maafkan meskipun masih agak mengganggu.
Tapi sepertinya Jomblo Reboot ingin ikut mengendarai ombak kekinian yaitu ngajak komika main film ‘lokasi syuting yang instagramable’. Ada beberapa perpindahan lokasi yang sangat amat nabrak.
Yang dari settingan kos-kosan, trus tiba-tiba berantem di pantai tempat mereka liburan di awal. Lha? Ini mereka gimana ceritanya tiba-tiba pindah ke pantai? Naik buraq apa gimana?
Trus ada ke tempat yang mirip bubaran shalat Jumat tapi di tengah hutan. Terus menari dan bernyanyi bersama di sana. Kurang random apalagi film ini?
Trus tiba-tiba ada adegan di sebuah festival yang gue nggak tau mau menggambarkan apa. Acaranya malem, yang main DJ, tapi juga ada yang nyanyi, yang isinya orang-orang jualan hijab kayak di bazaar-bazar, sekalian jualan… jus organik?!
Pokoknya kacau lah.
4. Plot
Kekurangan utama untuk Jomblo Reboot adalah plotnya. Seperti dipaksakan untuk lucu, ada banyak sekali adegan tempelan komedi slapstick yang bikin gue geleng-geleng kepala.
Nggak cukup waktu untuk menguatkan konflik antar pemainnya. Seperti konflik antara Olip dan Doni atau Bimo dan Agus.
Karena dipaksa lucu, ada banyak sekali adegan ‘kosong’. Adegan-adegan yang kalau dikeluarkan tidak akan mempengaruhi alur cerita. Adegan bom, satpam, ampe kuntilanak yang tiba-tiba muncul di kampus membuat lubang plot yang menganga dimana-mana.
Akibatnya, konflik pun terasa mengada-ada dan harus diselesaikan dengan segera karena pertimbangan durasi.
Cerita akan terasa dragging di awal dan tiba-tiba meluncur di akhir.
Di film ini, sulit sekali mengerti alasan kenapa Olip sangat marah ke Doni, sahabatnya sendiri. Sulit mengerti kenapa Doni yang tiba-tiba jatuh cinta hanya karena ditelanjangin (literally).
Juga sulit berada di sisi Lani untuk mengerti betapa pedihnya menjadi seorang selingkuhan.
Semua konfliknya tiba-tiba ada dan tiba-tiba selesai.
Di film Jomblo (2006), semua konfliknya dibangun dengan rapi. Ditunjukkan kepada kita bagaimana Olip jatuh cinta diam-diam kepada seorang wanita selama 3 tahun. Diperlihatkan juga bagaimana Doni pelan-pelan bisa berubah karena seorang wanita yang dia cintai. Dan kita juga dibawa bersama kepedihan Lani yang cuma dijadikan simpanan Agus.
Ini menjadi sarana buat pembaca dan penonton untuk merasa dekat dengan cerita. Yang akan membuat penonton merasa ‘gue juga bakalan gitu kalau di posisinya’.
Gue pertama kali ketemu Kang Adhit di Festival Penulis dan Pembaca yang dibikin oleh Gagas Media tahun 2013. Waktu itu, Kang Adhit jadi pembicara dan gue datang sebagai seorang pembaca yang bahkan belum pernah menulis buku.
Waktu itu gue tanya ke Kang Adhit.
“Kang, novel Jomblo lahir di era sebelum social media dimulai. Tapi gimana bisa jadi best seller nasional padahal media promosinya terbatas?”
Jawaban kang Adhit hingga detik ini nempel di otak gue.
“Karena cerita Jomblo itu terasa dekat. Dan kunci dari menulis cerita yang bagus adalah membuat orang bisa relate ke ceritanya.”
Tapi sepertinya tips ini dilupakan di Jomblo Reboot (2017).
5. Konflik
Akibatnya dipaksa harus lucu, dan lubang plot yang ada dimana-mana, ini akhirnya membuat konflik yang terjadi di film benar-benar seperti tempelan.
Olip yang cuma nggak berani ngajak kenalan trus marah?
Doni yang tiba-tiba suka abis ditelanjangin di depan warga?
Bimo yang marah ke Agus trus nari sambil nyanyi-nyanyi beramai-ramai di bubaran mesjid?
Konflik macam apa ini? Dan tiba-tiba, semuanya selesai karena alasan durasi.
6. Kesimpulan
Di akhir-akhir film, gue mengedarkan pandangan gue ke bioskop yang masih gelap. Gue perhatikan demografis penonton Jomblo Reboot ini. Mayoritas memang umurnya ada di bawah gue. Dan mereka tertawa terbahak-bahak menonton film ini.
Gue sampe bertanya ke Roy, apa cuma gue yang ngerasa aneh kayak gini? Ternyata Roy juga merasakan hal yang sama.
Sedikit banyak, ini membuat gue berpikir ‘apakah ini selera pasar sekarang?’
Sebuah film yang dipaksa lucu karena bertaburan komika sehingga mengabaikan unsur paling utama dalam satu cerita yaitu ‘common sense’?
Hampir semua aktor, aktris dan bahkan kang Adhit bilang kalau Jomblo Reboot adalah film yang berbeda dari Jomblo (2006).
Dan gue harus akui, kalau hal itu memang benar. Buat gue, Jomblo selesai di tahun 2006.
Agus, Olip, Doni dan Bimo telah lulus dari UNB dan kini telah menjalani kehidupan mereka masing-masing.
Dan 11 tahun kemudian, gue membayangkan mereka berempat reuni ke bioskop, lalu tertawa bersama-sama menonton sebuah copycat yang sangat jelek dari cerita mereka yang dulu.