Oke, gue bakal beri waktu bagi kalian untuk merenung dan mendalami betapa kerennya judul diatas?
Berasa kayak reality show kelas dunia kan?
Udah? Kalau begitu mari kita mulai.
Setelah 4 sesi latihan bersama guru vocal seperti yang gue ceritain sebelumnya disini, akhirnya hari yang ditunggu semakin dekat. Hari dimana gue akan tampil di panggung.
Menyanyikan sebuah lagu utuh untuk dinilai oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di industri musik. Hari dimana gue akan menjadi Idola Emak-Emak Indonesia.
Hari gue diawali dengan full day meeting di Ritz Carlton Mega Kuningan.
Satu hal yang terus menjadi pikiran gue menjelang tampil di PetroIdol.
Gue make baju apa?
Gak mungkin gue tampil dengan busana meeting, celana bahan, kemeja, dan jas semi formal.
Bisa dikira agen asuransi.
Jadi gue bela-belain untuk bawa jeans dan baju ekstra untuk tampil malam ini. Beban ekstra untuk backpack gue yang sudah penuh dengan laptop dan dokumen bahan meeting.
Meeting gue jalani dengan setengah hati, karena pikiran gue sudah tersita ke acara nanti malam. Memikirkan bagaimana caranya gue akan memukau Nina Tamam dkk.
Selesai meeting, gue langsung berangkat dari hotel sekitar pukul enam sore. Karena agak susah nyari taksi biasa, gue memutuskan untuk naik taksi premium.
Dengan asumsi ga bakal terlalu mahal, karena jaraknya memang agak dekat.
Menjelang magrib, gue berangkat ke tempat lomba.
Ga usah khawatir, karena gue dapet giliran hampir terakhir. Toh lokasi acaranya juga dekat dengan tempat gue meeting. Begitu pikiran gue pada awalnya.
Tapi ternyata hari itu ada demo besar-besaran yang dilakukan para buruh dari kawasan Jababeka ke tengah kota Jakarta. Kemacetan semakin menjadi-jadi di jam pulang kantor.
Hampir 1 jam taksi yang gue tumpangi tidak bergerak, berhenti hanya beberapa ratus meter sejak keluar dari hotel tempat gue meeting.
Dalam kondisi macet total seperti itu, ada tiga hal yang gue pikirin.
1. WC terdekat ada dimana? Gue kebelet. Ga mungkin kan gue nurunin jendela trus pipis dari dalam mobil? Emang gue selang aer?
2. Gimana kalo gue ga keburu nyampe di tempat acaranya? Bisa di diskualifikasi dan merusak nama baik kantor.
3. Gimana gue membayar argo taksi yang kayak argo kuda ini? Ingin rasanya mementung kepala supir taksi ini dari belakang, turun dan langsung kabur. Tapi resiko ditelanjangi massa membuat gue mengurungkan niat busuk itu.
Keringet dingin mulai keluar dari pori-pori, gabungan antara kebelet dan panik ngeliat argo taksi.
Kepanikan gue makin bertambah ketika temen gue Miranda nelfon langsung dari venue acara berlangsung.
“Ta, lo dimana?” kata Miranda dengan nada cemas.
“Masih di taksi nih.. Kenapa?” kata gue pura-pura kalem.
“Buruan, udah nomor 19!”
Dang! Gue inget, kalo gue kontestan no 21.
Dan gue seketika mulai pengen turun dan membanting semua mobil yang ga bergerak di depan gue.
Ga pake pikir panjang, gue turun dari taksi.
Gue lari menyusuri kemacetan Jakarta di waktu bubaran jam kantor.
Gue lewati mobil-mobil yang sedang parkir berjamaah itu. Mata gue berkeliling melihat pangkalan ojek terdekat. Akhirnya gue naik ojek ke gedung tempat acara.
Turun dari ojek, gue langsung lari lagi ke tempat acaranya di lantai tiga puluh tujuh.
Begitu masuk, gue langsung daftar ulang, dan tinggal gue yang belum ngambil no urut.
“No 21 ya mas?” kata resepsionisnya.
Pertanyaan itu ngga gue jawab, karena gue masih sibuk mengejar napas gue yang ketinggalan.
Ruangannya udah gelap. Hanya ada beberapa lampu sorot yang diarahkan ke panggung. Sengaja dibikin seperti itu agar center of attention para penonton cuma tertuju ke panggung.
Sambil memicingkan mata, disana gue liat Billy.
Duduk dipinggir panggung, bersiap untuk bernyanyi. Billy adalah kontestan no 20.
Oh shit, berarti abis ini langsung gue. Benar-benar ga ada waktu untuk ganti baju.
Gue akhirnya menemukan Miranda yang duduk di bagian penonton, dan duduk disebelahnya.
Sambil mencoba tenang, gue mencoba latihan pernafasan. Mencoba mengingat materi latihan vocal yang sudah gue terima. Kaki gue bergerak gerak sendiri, berusaha mengusir gugup yang muncul.
Tapi ngga berhasil. Rasa gugup yang menjalar semakin menguasai mental gue. Apalagi sambil melihat penampilan Billy.
Billy bernyanyi tanpa cela. Suaranya bagus, stage act nya keren. Dan harmoni dengan band pengiring juga dapet.
Selesai bernyanyi, bahkan Billy dapet standing ovation dari para penonton. Yang terakhir gue ketahui, kalo itu adalah keluarganya Billy. Billy membawa istri, ibu, dan adek2nya ke acara ini. Kebetulan lagi liburan di Jakarta dari Papua.
“Kalo tidak juara, kujepret mulutnya!” kata mama nya Billy
“……..”
“Berikutnya, kontestan no 21, Tirta Prayudha dengan lagu Tapi Bukan Aku” sang MC akhirnya memanggil nama gue.
Oke, ini mirip adegan di Asia Bagus. Dan gue Rio Febrian nya.
Dengan gugup, gue maju kedepan. Mic yang tersangkut di stand nya gue ambil.
Gue hampir ga bisa melihat apa-apa. Seluruh ruangan gelap. Hanya ada beberapa lampu panggung yang membutakan mata menyoroti gue. Spontan gue cuma bisa tersenyum ke arah penonton.
Dan dengan badan yang masih keringetan, baju resmi hasil meeting tadi pagi, dan napas yang masih memburu kayak tukang becak kejar setoran, gue mulai bernyanyi.
Di depan, ada 3 juri yang menilai gue.
Di sebelah kiri ada Nina Tamam, di tengah ada bapaknya Tamam Husein, dan di kanan ada Dea Mirela.
Mungkin karena pencahayaannya, hanya mimik muka Nina Tamam yang terlihat jelas dari panggung. Tamam Husein mukanya lempeng tanpa ekspresi. Dan Dea Mirela benar-benar ga keliatan karena gelap.
Mimiknya Nina Tamam ini lah yang gue jadikan patokan apakah nyanyian gue bagus atau ngga.
“Jangan lagi..kusesali..keputusan ku..” gue mulai bernyanyi.
Bagian intro gue nyanyikan dengan mulus.
Sedikit gue melirik ke Nina Tamam, dan dia tampak mengetukkan jari-jari tangannya mengikuti irama musik. Dan Nina juga menggerak-gerakkan kepalanya.
“Okay, that’s a good sign” pikir gue dalam hati
Percaya diri gue meningkat. Seolah ada suara yang muncul dari hati. ‘Hey, ternyata suara gue ga jelek-jelek amat. I can win this shit!”
Memasuki bagian reff, kontrol suara gue mulai menghilang. Suara gue mulai ga masuk dengan nadanya.
Agak deg-degan gue kembali melirik Nina Tamam. Berharap dia ga menyadari hal ini.
Ternyata dia menggelengkan kepalanya sambil menuliskan sesuatu diatas selembar kertas. Percaya diri gue mulai rontok bercucuran.
Dan di bagian overtune, dimana musiknya akan naik 1 nada lebih tinggi, suara gue sudah benar-benar ga nyambung sama sekali.
Men Sana In Corpore Sano. Suara kesana, musik kesono..
Kembali gue melirik ke Nina Tamam.
Dan…Nina Tamam lagi mainan handphone.
Arrrggghhhhhhh!!
Dibagian akhir, gue lupa sama sekali urutan lagunya. Suara gue mendahului musik. Pemain band sempet liat2an ama gue.
Mesra banget kayak orang pacaran. Untung dia gak melihat sambil membelai pipi gue dan berkata “everything is gonna be alright”
Dan akhirnya, mereka mengulang sekali lagi musiknya, agar gue bisa mengikuti.
Selesai.
Hampir tidak ada tepukan yang gue terima.
Sambil meringis, gue meninggalkan panggung. Persis seperti kontestan gagal dalam Indonesian Idol.
Dan ingin rasanya langsung loncat dari lantai 37 ini.
Hasil latihan tampaknya sia-sia.
Bagian-bagian dimana gue ingin berimprovisasi lupa gue lakukan sama sekali.
Kuping seolah mati, tanpa bisa mengikuti irama. Mendadak tone deaf.
Stage act gue lupakan. Properti panggung seperti stand mic, gue tinggalkan. Gue nyanyi lagu patah hati sambil cengar-cengir ga jelas.
Pengen terlihat seperti Judika, gue malah lebih terlihat seperti bapak-bapak yang numpang nyanyi di acara kawinan dengan jas semi formal gue.
Dan secara resmi, kiprah gue di PetroIdol berakhir dengan menyedihkan.
Gue memutuskan untuk pulang. Menghindari tatapan iba dari semua orang yang menonton performance gue.
Besoknya, kabar gue ikutan PetroIdol sudah menyebar. Hampir setiap orang yang ketemu gue nanya “Ta, lo ikutan PetroIdol? Gimana semalam? Sukses?”
Gue cuma bisa senyum-senyum sambil bilang “Fals mbak, kayaknya ga lolos.”
Dan puncaknya ketika salah satu senior gue, nanya ke gue sehabis makan siang.
“Ta, lo terkenal deh gara-gara PetroIdol.”
“Hah? Iya mbak? Gimana?” tanya gue kegeeran. Lumayan, ga bisa masuk tv dan jadi trending topic world wide, at least bisa terkenal di kantor.
“Iya, tadi ada yang nanya ke gue pas ngeliat elo. Itu Tirta ya? Yang ikutan PetroIdol? Yang fals itu?”
“………”
Terima kasih PetroIdol.
Indonesia memilih…anda pulang malam ini. Toneng toneng toneng..
PS : Billy akhirnya maju ke Grand Final dan jadi juara favorit. Yeah, he’s good!