Gue nggak percaya dengan zodiak atau ramalan bintang. Meskipun sering kali menemukan ramalan zodiak yang tepat, gue hanya menganggap itu sebagai kebetulan atau sugesti alam bawah sadar yang kita lakukan.
Gue nggak percaya bahwa sebuah konstelasi bintang di langit ketika kita lahir akan mempengaruhi sifat dan karakteristik seseorang. Nggak logis.
Kalian pasti bertanya kenapa gue bercerita mengenai hal ini di awal? Karena hal itu akan mempengaruhi cerita gue selanjutnya.
Beberapa hari yang lalu, gue mendapatkan sebuah invitation di Facebook dari Chiara, seorang teman dari Italia, untuk datang ke acara api unggun yang dia buat.
Acara bonfire ini dibuat di pantai sebagai acara perpisahan dengan anak-anak September intake yang sebentar lagi akan menyelesaikan studi mereka di Aberdeen.
Acara api unggun di musim panas seperti ini memang lazim dilakukan oleh mahasiswa di sini. Ketika cuaca cukup hangat (yang tentu saja masih terasa dingin untuk manusia tropis seperti gue), kesempatan ini langsung digunakan orang-orang yang untuk beraktivitas di luar rumah sebanyak mungkin.
Malam di musim panas juga biasanya cukup cerah, membuat langit bersih tanpa awan, yang memang cocok sekali untuk menikmati bintang.
Selain sebagai acara perpisahan, acara bonfire ini juga dibuat untuk menikmati Perseid meteor shower yang sering bisa dilihat dengan mata telanjang selama musim panas. Meskipun bisa dilihat dari seluruh langit di dunia, bumi bagian utara adalah lokasi terbaik untuk melihat meteor shower ini.
Aktivitas stargazing ini memang jarang sekali dilakukan orang Indonesia. Kapan coba terakhir kali kita sengaja keluar, tiduran di tanah dan menikmati kerlip bintang-bintang di malam hari?
Bintang kecil di langit malam hanya sebatas lagu anak-anak buat orang Indonesia.
Karena hal ini nggak pernah gue lakukan, invitation dari Chiara langsung gue terima. Lagipula, ini adalah pertama kalinya gue akan menikmati api unggun di pinggir pantai. Biasanya, gue dan teman-teman membuat acara api unggun di pinggir sungai Don, berjarak 10 menit dari tempat gue tinggal sekarang.
Dan melihat meteor shower? Ini adalah salah satu bucket list gue!
Di musim panas, siang akan berlangsung lebih lama. Matahari baru akan terbenam sekitar pukul sepuluh malam. Dan sekitar pukul sepuluh malam lebih sedikit, terdengar ketukan kecil di pintu kamar gue.
Valerio, flatmate gue, ternyata juga ingin pergi ke acara bonfire kali ini.
“Tirta, are you ready? Let’s go!”
“Wait a minute man, I’ll grab my jacket” kata gue sambil menyambar jaket dan syal yang tersangkut di balik pintu.
Meskipun cuaca malam ini sedikit lebih hangat dari biasanya, angin laut malam tetap saja akan menusuk tulang gue.
Tidak ingin mengambil resiko, gue memutuskan untuk berpakaian cukup tebal. Yang gue perkirakan cukup untuk menjaga badan gue hangat malam ini.
Dari flat, gue dan Valerio berjalan menuju Aberdeen Beach yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah.
“Do you know where they are?” tanya gue
“No, but we can walk through the beach and see if we can find any bonfire” kata Valerio menjelaskan.
Gue hanya mengangguk tanda setuju.
Jalanan malam ini sudah mulai sepi, hanya beberapa mobil yang sesekali lewat melintas. Mendekati pantai, gue menyadari bahwa seluruh lampu jalanan di pantai ini sudah dimatikan. Membuatnya seolah terisolir dari terangnya cahaya kota di belakang.
Langit yang dari tadi kosong, mulai dipenuhi bintang-bintang. Light pollution yang jauh berkurang membuat gue bisa melihat langit malam dengan sangat jelas. Saking gelapnya, gue bahkan tidak bisa melihat jalanan di depan gue.
Tapi ini adalah hal yang bagus untuk aktivitas gue malam ini.
“Wuow!” gue refleks bergumam ketika mendongak ke atas.
Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir gue melihat bintang-bintang sebanyak ini. Gemerlap cahaya kota Jakarta sepertinya sudah menghilangkan kenikmatan melihat langit malam. Light pollution di Jakarta sudah terlalu parah untuk menikmati bintang.
Kami langsung menyusuri pantai dengan perlahan. Menapaki jalan setapak membelah semak-semak. Ketika pijakan gue terasa lembut, gue menyadari bahwa kami sudah menginjak pasir pantai.
“Shit, we are in the wrong side of the beach” kata Valerio.
“Why? Where are they?”
“There!” Valerio menunjukkan sebuah api unggun yang menyala sekitar 500 meter dari posisi kami saat ini. Terpisah oleh sungai Don yang juga bermuara di pantai ini.
“I’m gonna cross this river” Valerio tiba-tiba menjadi tidak waras.
“Are you crazy? It’s too dark and the current is too strong!” gue melarang Valerio.
“What should we do now?” Valerio akhirnya mengurungkan niatnya.
Untuk mencapai tempat mereka, kami harus memutari sungai yang jaraknya cukup jauh. Dan gue rasa, hal itu merupakan langkah yang sia-sia.
“Let’s stay here for a while, enjoy the stars and we’ll go home afterwards” gue menyarankan.
“Okay, let’s do that.” kata Valerio langsung sambil duduk di pasir pantai.
Gue melihat sekeliling untuk memastikan tempat ini cukup bersih untuk gue tiduri. Gue kemudian melipat syal beberapa kali untuk menjadikannya sebagai bantal kemudian berbaring di atas pasir pantai ini.
“Whoaaaa, did you see that one?” kata Valerio sambil menunjuk ke atas.
Yup, meteor pertama yang kami lihat malam ini. Ekor panjangnya menimbulkan sebuah kilatan cahaya di langit malam. Tapi saking cepatnya, cahaya itu langsung hilang tanpa bekas.
“I wish health for my family.” katanya tiba-tiba.
Membuat permohonan ketika melihat sebuah bintang jatuh ternyata juga berlaku di sini. Mendengar ucapan itu, gue sontak bertanya.
“Haha. Do you still believe on things like that?”
“Yeah, why not? At least I do it for fun.”
Gue hanya bisa terdiam. Gue nggak percaya hal-hal seperti ini. Selain karena tidak ada dalam ajaran agama gue, bagaimana bisa sebuah permohonan bisa terkabul ketika melihat sebuah bintang jatuh?
Lagi pula Perseid meteor shower ini adalah fenomena yang lazim terjadi setiap tahun. Tidak ada yang spesial dari hal ini.
Beberapa kali bintang jatuh lainnya muncul secara bergantian. Tidak berentetan seperti yang gue duga sebelumnya. Sisanya, hanya ribuan bintang yang menjadi pemandangan gue malam ini.
Gue menyadari kalau pengetahuan gue tentang astronomi minim sekali. Hanya sebuah konstelasi bintang di langit yang gue tau, Orion. Yang paling terkenal dengan tiga bintang sejajar di sabuknya yang sering disebut Orion’s belt. Sisanya terasa seperti hamparan bintang secara acak yang tersaji di depan mata.
Beberapa menit kemudian hanya gue habiskan melihat langit malam sambil tiduran tanpa bersuara.
Sejak kapan kita berhenti melakukan hal ini? Berhenti melihat ke atas dan bertanya apakah ada makhluk lain di luar sana yang sedang melakukan hal yang sama. Melihat cahaya yang mungkin saja datang dari masa lalu dan mengembara selama ribuan tahun hingga akhirnya bisa ditangkap oleh mata gue saat ini.
Aktivitas ini membuat gue merasa kecil sekali.
Dan entah kenapa, di antara keheningan malam ini, pikiran gue malah terbang ke dia.
Sepatu Kiri.
Apa kabarnya dia sekarang? It has been a while since the last time we talked. Gue nggak pernah tau cerita-ceritanya lagi.
Orang yang dulu terasa spesial buat gue kini terasa asing sekali. Wanita yang pernah memukau gue itu kini terasa jauh sekali. Jarak memang benar-benar bisa membunuh perasaan.
Sambil menarik napas, gue berusaha menghilangkan rasa sedih yang tiba-tiba muncul.
I have to admit, I miss her. I miss to hear her stories. I miss to hear her laugh. I miss how the way she rolls her eyes when she’s embarrassed.
I miss how she used to be.
And then, I realized something. Now every thing is no longer the same. I can’t keep doing this. She moved on, and I have to do the same thing as well.
Resleting jaket gue tarik sampai ke leher untuk menghalau angin laut yang terasa semakin dingin. Temperatur malam ini semakin turun. Dengan ujung mata gue, gue melirik ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri gue.
Hampir tengah malam. Tepat ketika kembali gue mendongak ke atas, Valerio berteriak tiba-tiba.
“Whoaaa, that’s a big one!”
Yup, another meteor from Perseid. Kali ini cahayanya lebih terang dari yang sebelumnya. Dan entah kenapa, dalam hati gue ada sebuah permohonan yang muncul tiba-tiba.
“I wish nothing but happiness in her life.”
Sebuah permohonan yang otomatis keluar dari dalam hati gue. Orang yang sebelumnya tidak pernah percaya oleh hal-hal semacam ini. Tidak peduli itu logis atau tidak. Tidak peduli akan terkabul atau tidak, tapi hal itu adalah hal yang pertama yang melintas dalam benak gue.
Hal yang harus gue akui, benar-benar jujur keluar dari dalam hati tanpa persiapan.
Gue benar-benar berharap dia akan selalu bahagia.
Karena hal ini, adalah hal terakhir yang gue lakukan untuknya.
“Valerio, let’s go back! It’s too cold now” kata gue sambil berdiri.
Valerio langsung berdiri sambil menepuk-nepuk pahanya untuk menghilangkan pasir pantai yang melekat di pakaiannya.
Sambil mendongak ke atas, gue melihat ke langit untuk terakhir kalinya. Berusaha untuk menikmati suasana malam ini dan perasaan aneh yang melekat bersamanya.
Ada rasa lega yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Dan gue baru menyadari satu hal,
Langit tidak pernah terlihat seindah malam ini.