Malam ini gue baru aja dapat pelajaran berharga buat diri gue. Pelajaran yang ga gue dapet di bangku sekolah manapun.
Gue baru pulang dari kantor klien sekitar jam 9 malam.
Karena pemerintah kita yang terhormat belum bisa menyediakan sarana transportasi yang murah dan nyaman buat rakyatnya, gue dan temen gue memilih untuk naek metromini buat pulang ke rumah masing-masing.
Begitu metromini merah lewat depan gedung, gue langsung melambaikan tangan buat memberhentikan metromini yang lewat.
Metromini nya agak penuh, temen gue dapet kursi kosong di dekat pintu masuk depan, gue milih duduk paling belakang.
Seperti biasa, supir metromini ngga ada yang normal nyetirnya. Ngebut, selip kanan, selip kiri.
Awal-awal sih gue ga kebiasa, jantungan gitu kalo naek metromini yang supirnya mantan pembalap gini, tapi kalo sekarang udah lebih memaklumi.
Gue agak capek malam ini, jadi sepanjang jalan pulang gue cuma melamun dan cuek sama keadaan sekitar.
Sambil ngeliatin gedung-gedung diluar, pikiran gue terbang ntah kemana. Pernah sekali waktu, gara-gara suka menghayal gini, gue kelewatan halte tempat gue turun. But that’s another story.
Di halte didepan polda, lamunan gue terusik. Seorang bapak masuk menenteng gitar kecil yang mungkin lebih cocok disebut ukulele. Dibelakangnya menyusul anak kecil. Mukanya polos, mungkin baru sekitar 5-6 tahun usianya.
Gue perhatiin sekilas, anak kecil mirip dengan si bapak. Jagi gue simpulkan kalo anak itu adalah anaknya. Si bapak mulai melakukan ritual khas seorang pengamen. Tau kan yang gimana??
Yang kayak gini..
“selamat malam bapak-bapak ibu-ibu, kami mohon maaf..blaa..blaa.blaa…”
Gue perhatiin, mukanya tirus, sedikit kucel dan terlihat sangat lelah. Badannya kurus tertempa kerasnya hidup di ibukota, malam begini masih loncat dari satu bus ke bus yang lain hanya untuk mengumpulan recehan dari penumpang.
Tapi mukanya terlihat ikhlas. Beneran.
Sehabis ngasi kata sambutan tadi, dia pun mulai memainkan gitar kecil yang disangkutkan di punggungnya. Sebait demi sebait lirik lagu mengalir dari mulutnya.
Si anak masi gelendotan di belakang bapaknya sambil megang bekas bungkusan permen buat kantong penerima receh dari para penumpang.
FYI, Gue, adalah orang yang kadang ngga simpatik dengan para pengemis dan pengamen. Apalagi dengan para pengemis anak-anak di lampu merah.
Mereka yang mengemis di terik matahari dan menghampiri jendela-jendela mobil yang berhenti, sedangkan kita bisa lihat si ibu malah duduk santai di arah kejauhan. Ngga tau itu ibunya beneran atau ngga.
Ngasih mereka duit, adalah cara mendidik mereka untuk jadi pemalas, Itu alibi gue.
Tapi apa yang gue liat dari si bapak dan anaknya malam ini sedikit berbeda. Si bapak bernyanyi sambil main gitar, sedangkan anaknya mengumpulkan uang dari penumpang. Kerjasama keluarga. Tidak seperti waktu lainnya, bukan hipotesis-hipotesis jahat yang muncul dikepala gue.
Gue menduga, si bapak pasti kehabisan cara untuk menghidupi keluarganya. Dan mengamen adalah satu-satunya cara. Dan dia melakukan itu.
Ketika lagu hampir berakhir, dan mendekati halte berikutnya untuk berhenti, si anak kecil itu mulai menghampiri para penumpang sambil menyodorkan kantung plastik bekas permen. Beberapa penumpang memberikan recehan, sedangkan beberapa yang lain cuma menyodorkan telapak tangan.
Ketika dia sampai di bangku gue paling belakang, gue ambil selembar rupiah dari kantong gue, yang mungkin biasanya habis untuk sekali gue makan. Gue masukkan rupiah itu ke kantong yang dia sodorkan. Dia melongok ke dalam kantong.
Kaget melihat jumlah yang gue kasi, dia ngeliat gue seolah memastikan, yang cuma gue balas dengan senyum.
Sekali lagi dia liat kedalam kantong, heran mungkin. Gue cuma bisa senyum ngeliat tingkah polos anak itu. Si bapak akhirnya menyusul kebelakang dan mereka turun ketika bus berhenti.
Penasaran, gue melirik lagi kebelakang, dan si anak sedang menunjukkan isi kantong itu ke bapaknya sambil menunjuk metromini yang gue tumpangi dengan dagunya.
Gue kembali melihat ke depan untuk melanjutkan lamunan gue. Ternyata selembar rupiah bisa membeli sedikit kebahagiaan buat segelintir orang.
Ga jauh dari situ, metromini yang gue naikin berhenti lagi. Dan kali ini seorang bencong masuk beserta temannya. Tapi temannya ga berdandan seperti seorang wanita. Temannya ini menenteng sebuah sound system kecil. Mungkin mereka seumuran gue.
Kelihatan jelas kalau mereka berdua baru selesai ngamen, tapi kali ini tidak. Mereka naik metromini ini untuk pulang ke rumah. Si mas (atau gue harus manggilnya si mbak ya??) yang berdandan seperti wanita, berdiri paling belakang deket gue.
Samar-samar bau wangi parfum yang dia pakai tercium oleh gue. Bukan parfum mahal yang pasti.
Gue perhatiin lagi si mbak ini. Dia dandan rapi banget, niat gitu dandannya, dan dia pake baju kayak Marlyn Monroe gitu, tapi warna merah dan ditutupi selembar selendang dipundaknya.
Dan gue, adalah orang yang takut dengan bencong.
Kalian boleh ketawa, tapi beneran, gue takut.
Risih dan geli lebih tepatnya. Biasanya ketika gue ketemu bencong, gue akan menjauh atau bahkan nyelotip pantat gue biar aman.
Tapi kali ini gue ga takut. Gue juga heran. Karena gue menganggap, kalo si mas yang berpakaian wanita didepan gue ini bukan seorang bencong sejati.
Bencong sejati??apalagi tuh ta??
Bagi gue, bencong sejati adalah pria yang terlahir dengan hormon wanita berlebih. Bagi yang pede, beberapa akan operasi plastik biar mirip perempuan. Yang ga pede menentang aturan, biasanya jadi cowo melambai. Mereka-mereka ini ga punya pilihan karena terlahir seperti itu.
Tapi si mas yang ini berbeda.
Dia menjadi bencong, karena pilihan!
Gue bisa liat, dibalik dress merahnya, kakinya adalah kaki seorang lelaki, masih berbulu. Ga dirawat. Kukunya juga sedikit kotor diatas sandal jepit yang dia gunakan.
Gayanya juga ga melambai-melambai amat. Dia lelaki, lelaki yang berdandan seperti wanita.
Dan dia memilih untuk menjadi seperti itu.
Mungkin dia sudah kehabisan cara untuk mencari makan dan bertahan hidup, dan itu adalah pilihan yang tersisa. Daripada menjadi maling, menjadi bencong adalah jalan yang dia ambil untuk mencari nafkah yang halal. Dan kali ini, dia mendapat respect dari gue.
Gue menganggap kalo bencong adalah profesinya.
Keadaan memaksanya seperti itu.
Ketika gue dan kebanyakan orang lain, bangun dipagi hari untuk pergi ke kantor dan bekerja. Dia memilih untuk bangun, berdandan dan menyusuri jalan-jalan ibukota untuk mengamen.
Ga ada bedanya. Sama aja.
Ga lama dari situ, gue turun di halte dideket kosan. Biarkan mas-mas tadi nanti turun ntah dimana. Dari halte, gue jalan menuju kosan. Tapi bayangan si bapak dan anaknya serta mas-mas yang bekerja sebagai bencong itu terus nempel si otak gue.
Gue adalah anak daerah. Anak yang dibesarkan dengan kondisi kekeluargaan yang tinggi dalam masyarakat. Tapi berada di Jakarta hampir setahun membuat gue bersifat apatis. Gue akui itu.
Sifat elo-elo gue-gue itu gue lakukan belakangan ini. Kata-kata seperti “gue sih asik-asik aja selama lo ga nyenggol gue” seakan bermain-main dibenak orang-orang disekeliling gue sekarang. Egosentris.
Tapi kejadian tadi sedikit mengingatkan gue, seakan menjadi reminder, kalo diluar sana, masih ada orang-orang yang masih jauh kurang beruntung dari gue.
Yang terpaksa membawa anaknya yang masih kecil untuk mengamen, atau bahkan seorang lelaki tulen yang terpaksa memakai baju perempuan setiap hari untuk mengisi perut mereka.
Dan mungkin, gue belum bisa membantu banyak orang-orang seperti ini. Tapi gue janji sama diri gue sendiri, kalo Jakarta ngga akan membuat gue berubah menjadi apatis dan cuek dengan lingkungan gue.
Gue akan tetap menjadi anak daerah, gue ga akan kalah ama Jakarta.
Dan gue berharap, semoga tulisan ini bisa sedikit mempengaruhi yang membacanya, sama seperti halnya gue yang diingatkan oleh Allah melalui bapak, anak kecil dan mas-mas berprofesi bencong tadi.
Tapi kali ini, gue pengen banget nagih janji pemerintah yang tertuang dalam dasar Negara kita, dasar negara yang dulu kita pelajari di bangku sekolah dasar. Begini bunyinya..
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 34 ayat 1 :
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara…