Parkir Di Mana

Belakangan, akibat keseringan scroll Twitter dan Tiktok, gue banyak menemukan postingan-postingan seperti ini:

Screenshot chat cowok yang ngajak ngedate, tapi sambil humble brag mobil apa yang dia bawa untuk ngedate. Something like..

“Eh, besok naik BMW aja gpp ya? Soalnya Alphardnya mau dibawa Mamaku..”

Buat pembaca blog ini, yang sudah dari dulu rutin membaca dan berada dalam range umur yang sama dengan gue, mungkin itu terdengar aneh dan cringey.

Tapi serius, trend kayak gitu beneran ada di anak jaman sekarang.

Yang mana sebenarnya, gue gak yakin apakah dia beneran punya dua mobil (BMW dan Alphard), atau cuma punya satu tapi pengen mengesankan dia kaya dan punya dua mobil?

Entahlah.

Fenomena serupa juga terjadi di Twitter atau di Tiktok, dimana biasanya ada foto cewek cantik selfie atau ngapain, trus ada komentar-komentar dari pria-pria minder kayak:

“Cewek kayak gini mana mau diajak naik motor.”

“Cewek kayak gini mana mau diajak makan di pinggir jalan..”

Ngerti kan maksud gue?

Membaca komentar-komentar kayak gini, membuat gue pengen cerita sebuah kejadian nyata yang terjadi di gue hampir sepuluh tahun yang lalu.

Waktu itu sekitar tahun 2013, gue pacaran dengan seorang gadis yang pernah gue tulis di buku Romeo Gadungan chapter Layang-Layang.

Si Layang-Layang ini adalah tipikal cewek yang berkelas banget, if you know what I mean. 

Untuk memberikan konteks seberapa ‘kelas’ nya dia, gue akan ceritain dikit.

Dia datang dari keluarga terhormat, SMA nya di SMA 8, lalu kuliah ke FEUI, lulus cumlaude dan magang di EY.

Ketemu dan kenalan dengan gue di EY, sampai akhirnya gue pindah ke BP dan dia pindah bekerja di salah satu perusahaan multinasional. Terakhir gue dengar, dia sudah menjadi direktur di sana.

Ketika gue S2 di Aberdeen, dia juga lagi ngambil S2 di Manchester. Kita ketemu di sana dan menjadi latar cerita tentang dia di buku Romeo Gadungan.

Circle pertemanannya adalah segerombolan cewek-cewek cantik FEUI yang gue yakin bisa bikin minder banyak pria di luar sana.

Kalau boleh stereotyping, geng mereka itu bisa dibilang khas cewek-cewek Jakarta Selatan, cantik, pintar dan ambisius. Kombinasi yang jarang banget gue temui.

Dia cantik? Nggak usah ditanya.

Salah satu anak magang gue di BP dulu adalah adik kelasnya di FEUI. Dia kaget banget waktu tau si Layang-Layang adalah mantan gue.

“Elo dulu mantannya kak Layang-Layang? Wah, kalau dulu dia jalan di koridor kampus, itu cowok-cowok langsung bisik-bisik..” jelas si anak magang.

“Kok dia mau ama lo, Kak?” tanya anak magang gue.

Jujur, gue juga nggak tau jawabannya. But to be honest, kami pacaran nggak lama, cuma sekitar 5-6 bulan. But we’re friends way before that.

Di tengah masa pacaran yang singkat itu, termasuk juga saat merayakan ulang tahun dia di awal-awal jadian.

Sebagai pacar yang baik, tentu gue berusaha merencanakan sebuah kejutan. Gue reservasi sebuah restoran di Plaza Senayan untuk makan malam bersama.

Gue sih awalnya bilang cuma makan malam berdua. Tapi tanpa sepengetahuannya, gue mengundang teman-teman dekatnya (yang circle cewek-cewek Jaksel tadi) untuk ngasih kejutan dan merayakan bersama.

Niat, kan? Ya, namanya juga masih muda. Hehe

Di hari H, makan malam berjalan lancar. Gue kasi dia kado, makan dan ngobrol kayak biasa. Di tengah-tengah, tiba-tiba muncul teman-temannya yang sudah janjian dengan gue tadi. Beberapa beserta pacar masing-masing.

Dan perlu diketahui, ini adalah pertemuan pertama gue dengan mereka semua. We are in the early months in our relationship, so it kinda makes sense.

Mereka membawa bunga, kue dan kado-kado sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Makan malam yang tadinya intimate berdua, kini menjadi sedikit lebih ramai.

Gue pun bertukar peran menjadi pacar yang baik a.k.a fotografer dan mengambil foto-foto mereka. I step aside and realize I am not the main character tonight.

She is.

Lagipula, ada semacam ‘jarak’ antara gue dan teman-temannya. Entah karena belum terlalu kenal atau memang karena lahir dari kelas sosial yang berbeda.

Makan malam berlangsung lama ampe akhirnya restoran dan mallnya sudah mau tutup. Gue minta bill dan selesaikan semua administrasi.

Dari restoran, kami turun bersama ke lantai dasar. Lift yang masih nyala hanya tersisa satu.

Gue menenteng beberapa paper bag berisi kado dari teman-temannya sementara dia membawa bunga yang tadi diterima.

Plaza Senayan mulai gelap, beberapa tenant sudah mulai menutup tokonya.

Ketika kami semua sampai di lobby, seorang temannya nyeletuk:

“Tirta parkir di mana?”

Dheg!

FYITirta in 2013 is just a regular dude who works his ass off.

Gue masih berada di awal-awal karir dan nggak punya cukup uang untuk membeli sebuah mobil. Gaji yang gue terima masih harus dibagi dan dikirimkan ke keluarga gue.

I don’t have a car. To be precise, I couldn’t afford one.

But apparently, in that social circle, having a car is a norm. It’s so common that everyone in that circle is having a car and assuming everyone else has one too.

In that moment I realized I am the outsider.

I don’t blame her friend who asked that question. And I am sure she doesn’t mean any harm.

It’s just the way their circle works.

Si layang-layang pun langsung merespon:

“Oh nggak, Tirta nggak punya mobil. Kita naik taksi aja..” sambil dagunya mengarahkan ke antrian taksi Bluebird yang sudah memanjang di depan Plaza Senayan.

Mereka pun cipika cipiki dan turun ke parkiran di basement, sementara gue dan Layang-Layang bergegas ke depan lobby mencari taksi.

Di dalam mobil, pikiran gue melayang berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Selama ini, percakapan tentang ‘punya sebuah mobil’ memang tidak pernah terjadi. Every date we went, baik dari masa pedekate sampai jadian, semua dilakukan naik angkutan umum.

Semua acara stand up comedy, drama musikal, ngopi atau jajan di pinggir jalan, ya dilakukan naik taksi. Dia tidak pernah menuntut gue harus bawa mobil dan gue juga sadar bahwa itu juga bukan suatu keharusan.

I know it and she knows it as well.

If you have something good in you, or some other quality that you can offer into a relationship, it really doesn’t matter what kind of car you drive. Or even if you have one or not.

Put something on the table. Some other qualities you can offer.

Gue kasihan dengan orang-orang yang berpikir bahwa menawarkan materi adalah satu-satunya cara untuk mengambil hati orang lain.

And trust me, women are very odd creatures.

Once they like you, they like you. They don’t need any other reasons. Mereka akan ngajak berantem satu dunia kalau perlu.

Mau diajak makan kaki lima, naik motor, atau naik taksi sekalipun, nggak akan jadi masalah.

Kalau udah suka, mau diajak nonton konser, nonton bioskop, atau nonton kebakaran sekalipun, mereka nggak akan nolak.

Kejadian hampir sepuluh tahun yang lalu itu masih membekas sampai sekarang. Itu membentuk cara gue berpikir dan memandang sebuah hubungan.

Toh akan selalu ada cacat dan kurangnya seseorang, dan menjalin hubungan berarti juga mau menerima kekurangan-kekurangan itu.

Karena ketika wanita sudah memutuskan bersama seorang pria, dia lah yang nanti akan sukarela menjawab pertanyaan-pertanyaan gak penting, kayak…

“Parkir di mana?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top