Perjalanan ini (sebenarnya) menyenangkan.
Tombol di samping gue tekan untuk menurunkan jendela. Gue biarkan angin laut masuk ke dalam mobil sebagai ganti AC mobil yang sengaja dimatikan. Kacamata hitam polarized yang gue pasang, cukup ampuh menghalau sinar matahari yang menusuk masuk ke dalam mata.
Kondisi Sabang siang ini cukup unik. Aspal yang masih basah akibat hujan lebat tadi malam, bercampur dengan kondisi matahari terik yang hari ini bersinar cukup garang. Sungguh dua kondisi yang sebenarnya cukup bertolak belakang.
Angin yang masih terasa basah menyapu dingin menerpa wajah gue. Dari kaca spion, terlihat pantulan abang dan adik-adik gue yang duduk di kursi belakang.
Supir gue selama di Sabang, Sam, berceloteh seru tentang kondisi Sabang belakangan ini. Sebenarnya nama pulau ini adalah Pulau Weh, nama kotanya adalah Sabang. Tapi nama Sabang lebih dikenal oleh masyarakat umum.
“Ini udah sepi bang, kemaren pas tahun baru, disini banyak kali orang ke Sabang. Sampe padat lalu lintas mobil.” ujar Sam kepada kami.
Hari ini baru tanggal 2 Januari, matahari baru dua kali terbit di tahun ini, tapi suasana perayaan tahun baru sudah tak lagi bersisa.
“Rame bang kemaren pas tahun baru disini?” tanya adik gue penasaran.
“Ohh, rame. Apalagi karena kemaren perayaan tahun baru dilarang di Banda. Orang-orang kesini semua. Kemaren bule-bule bikin pesta dugem di pantai.”
“Lho, gak dilarang? Kan syariat Islam?”
Sam cuma tersenyum.
Gue hanya diam mendengarkan. Pikiran gue sendiri gak disini. Kembali ke percakapan telepon yang terjadi beberapa malam lalu. Sebuah percakapan telepon yang seolah membangkitkan semuanya. Perasaannya, kenangan-kenangannya dan rasa putus asanya.
Semua usaha untuk melupakannya seolah sia-sia. I’m back to ground zero.
Pemandangan perlahan mulai berubah. Desa-desa pinggir pantai yang sejak tadi terlihat mulai menghilang tertinggal di belakang. Berganti dengan jalanan menanjak yang membelah gunung berhiaskan hutan hujan tropis di sebelah kiri atau kanan.
Jalur menanjak ini benar-benar membutuhkan keahlian mengemudi diatas rata-rata. Beberapa kali Sam harus mengganti perseneling ke gigi satu agar Kijang tua itu kuat menanjak. Kadang di beberapa bagian, ada tebing curam menganga puluhan meter ke bawah menunggu korban yang lengah dalam mengemudi. Dan di beberapa bagian lain, ada jalur yang hanya muat untuk dilalui oleh satu mobil secara bergantian.
Untungnya, kondisi aspal yang mulus membuat perjalanan ini tanpa goncangan. Hanya waktu yang kami butuhkan menuju tempat yang sebenarnya agak jauh dari pusat kota Sabang. Kami bergerak ke arah utara Sabang demi satu hal. Tugu Nol Kilometer.
Sebuah tugu di pulau paling barat Indonesia. Tugu penanda dimulainya wilayah negara ini.
Setelah satu jam perjalanan, kami akhirnya tiba di wilayah itu. Sebuah plang melingkar besar sebagai penyambut tamu yang datang. Dua orang yang berjaga langsung mendekat untuk memungut biaya bagi pengunjung.
Hanya dengan sepuluh ribu rupiah, beberapa karcis masuk berwarna merah jambu telah berpindah tangan.
Lokasi ini cukup sederhana, hanya sebuah tugu besar di pinggiran tebing yang langsung menghadap ke Samudera Hindia. Mirip dengan Uluwatu di Bali. Tapi seperti halnya lokasi wisata yang belum terlalu terkenal di Indonesia, belum terlihat upaya serius dari pemerintah setempat untuk menjual pulau ini kepada para wisatawan.
Lokasi Tugu Nol Kilometer ini masih sangat sederhana.
Hanya ada beberapa warung yang terbuat dari kayu di pinggir lokasi ini. Mereka menjajakan makanan, minuman hingga kaos bergambar pulau Sabang. Di salah satu pojok tebing, beberapa orang berusaha mengabadikan gambar mereka dengan latar belakang Samudera Hindia.
Turun dari mobil, gue berjalan menuju Tugu Nol Kilometer yang legendaris itu. Sebuah tugu setinggi belasan meter yang menjulang, berdiri kokoh di pinggir tebing. Di tengahnya, ada sebuah ruang kosong tanpa dinding sehingga bisa diisi para pengunjung untuk berfoto.
Satu persatu, gue mulai menaiki anak tangga. Kondisinya yang masih agak basah bekas hujan semalam memaksa gue untuk sedikit berhati-hati.
Setelah sampai di atas, pemandangan berubah menjadi lebih baik. Hamparan air berwarna biru yang terbentang luas kini terlihat jelas. Tiupan angin laut yang sejuk menampar wajah pun kini semakin terasa.
Tepat di tengah tugu ini, ada sebuah marmer bertuliskan pengesahan tempat ini sebagai Tugu Nol Kilometer Indonesia.
PENENTUAN POSISI GEOGRAFIS TUGU KILOMETER 0 INDONESIA DI SABANG DIUKUR OLEH PARA PAKAR BPP TEKNOLOGI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI SATELIT GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)
SABANG, 24 SEPTEMBER 1987
MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI/ KETUA BPP TEKNOLOGI
Prof. DR. ING. B.J Habibie
Tulisan itu sudah hampir 26 tahun ada disana, tapi kondisinya masih cukup jelas dan gampang dibaca. Jari gue bergerak perlahan menyentuh marmer setinggi pinggang itu. Huruf-huruf yang tercetak di permukaan batu itu seolah abadi, seperti namanya yang masih terukir jelas dalam hati.
Hati bukanlah sebuah marmer, tapi kenapa segala yang tertulis disana membekas lama? Susah untuk melupakan, sehingga susah untuk melangkah maju.
Move on itu hal yang gampang untuk diucapkan, tapi susah untuk dilaksanakan. Sebenarnya, move on itu bukan melupakan, tapi mengikhlaskan. Masalahnya, apa sekarang gue ikhlas?
Ikhlas melepaskannya. Ikhlas melupakan kenangannya. Ikhlas melihatnya bahagia bersama orang lain.
Berulang kali gue berpikir dan berulang kali pula gue menyesalinya. Ribuan pertanyaan seolah masuk menusuk ke dalam kepala.
Bagaimana seandainya gue gak menemukan orang lain seperti dirinya? Bagaimana seandainya gak ada orang lain yang mampu memberikan kenyamanan seperti yang pernah dia berikan? Dan puluhan pertanyaan lain yang berawalan sama.
“Bagaimana jika…”
Gue takut untuk berjalan maju dan terus menerus terjebak dalam romantisme masa lalu. Meskipun sebenarnya gue sudah lelah dengan semuanya. Lelah dengan fluktuasi emosi yang selama ini gue rasakan.
Gue butuh momen. Sebuah momen yang bisa membuat gue berpikir dan mampu berkata “Cukup!” ke diri gue sendiri.
Di bawah sana, adik-adik gue sudah siap berpose di depan tugu ini. Mengabadikan momen untuk nanti mungkin dipamerkan di linimasa.
Gue memandang berkeliling. Hanya tinggal gue sendiri yang berdiri di sini. Di tengah sebuah tugu pertanda dimulainya sebuah negara, di awal sebuah tahun baru.
Sontak gue terdiam. Mungkin inilah yang selama ini gue tunggu.
Inilah saat yang paling tepat untuk melupakannya. Inilah awal untuk memulai sebuah cerita yang baru. Inilah awal yang harus meyakinkan gue untuk melangkah tanpa ragu.
Ibarat sebuah tugu besar yang menjadi penanda dimulainya sebuah negara kepulauan sepanjang puluhan ribu kilometer. Ini (harusnya) adalah awal dimulainya lembaran baru dalam hidup gue.
Sebuah napas panjang gue tarik kemudian menghembuskannya sekuat tenaga. Sepotong kalimat terucap dalam hati sebagai upaya meyakinkan diri sendiri.
“Lo udah melakukan segalanya yang lo bisa lakukan Ta. Now move on. All is well.”
Sejenak, ada rasa lega luar biasa yang datang. Rasa lega yang datang entah darimana. Gue percaya dengan melupakannya, gue telah selangkah lebih dekat ke orang yang tepat.
Time heals almost everything…especially a broken heart.
Yang perlu gue lakukan sekarang, adalah melangkah maju dan terbuka untuk segala kesempatan. Terbuka untuk sebuah cinta baru yang mungkin nanti akan datang.
Gue mengeluarkan empat buah foto dari dalam dompet yang selama ini tersimpan. Sepasang wajah yang tersenyum disana gue pandangi untuk terakhir kali. Akhirnya, empat buah foto glossy itu sengaja gue tinggalkan disana. Di sebuah dinding beton tugu nol kilometer.
Tak berapa lama, hembusan angin laut yang cukup kuat menerbangkannya entah kemana. Menghilang bersama ombak di Samudera Hindia.
“Bang, ayo pulang!” teriak adik gue membuyarkan lamunan.
“Yuk!”
Dan di awal tahun yang baru, di sebuah tugu beton Nol Kilometer Indonesia. Aku ingin melupakanmu.
Sabang, 2 Januari 2013.
Untuk hati yang (sudah) melangkah pergi.