Lifter Gadungan

Buat yang ngikutin gue di Instagram, mungkin udah tau kalau 1 tahun belakangan ini gue rutin ngegym. Sesekali gue upload aktivitas atau progress gue latihan di sana.

Bahkan gue udah jelasin alasan kenapa gue mulai latihan di tulisan ini.

Beberapa minggu lalu, trainer gue si Gaida bilang kalau gym gue bikin kompetisi power lifting. Dan dia nawarin gue untuk ikutan.

“Ayo bang, ikutan. Biar seru. Biar jadi inspirasi buat yang lain biar gak males latian.”

Berulang kali gue menepis ide itu. Ngapain woi? Nyari apa?

Tapi berulang kali, Gaida menawarkan. Manager gym gue bahkan ampe ikutan nanya memastikan “Mas Tirta ikutan kompetisi nanti?”

I can sense there’s a PR side of it if I joined the event. Jadi, yauda lah.

Gue bantuin Gaida untuk sekalian “jualan”. Karena gimana pun, progress gue adalah portfolio Gaida. Semakin banyak yang melihat hasil kerjanya, akan semakin bagus buat karirnya. Gue ngerti.

Jadi ketika Gaida nawarin lagi, gue langsung iyakan.

So be it.

Gue jelasin sedikit kompetisinya buat kalian pembaca blog ini.

Sebenarnya kompetisi ini ada tiga jenis, deadlift, squat dan bench press. Setiap peserta harus mengikuti ketiganya dan dari setiap jenis itu, ada tiga kali angkatan.

Jadi setiap orang bisa meningkatkan beban yang mereka angkat di setiap kali angkatan secara berjenjang.

Karena gue bukan peserta reguler dan gak bisa ikutan deadlift dan squat, gue ikut yang bench press aja. Gerakan tiduran di bangku sambil mengangkat beban. Tau kan yang gimana gerakannya?

Yauda, gue ikut yang itu.

Di hari H, datanglah gue ke gym dengan niat menjadi peserta eksebisi. Dan sesampainya di gym, gue menemukan sebuah kenyataan yang berbeda.

People take this competition seriously!

Gue kirain hanya lomba lucu-lucuan antara sesama member gym ini. Tetapi ternyata nggak. Mayoritas peserta bahkan bukan member di sini dan rela membayar untuk ikut sebuah event di akhir pekan.

Langsung ciut lah mental gue.

Keseriusan itu sebenarnya sudah bisa kita lihat dari pakaian mereka.

Masing-masing memakai pakaian pressbody ala weightlifter yang sering kita lihat di Olimpiade. Katanya untuk mengunci otot agar tidak mudah bergeser sehingga bisa bekerja lebih keras.

Tidak lupa pula melingkar belt besar dari kulit dipinggang yang gue duga biar nggak turun bero waktu ngangkat?

I don’t know.

Di satu pojok, beberapa lifter yang pemanasan sambil minum protein shake dan menepuk-nepukkan kapur di telapak tangannya. Di satu sisi ada yang pemanasan disuapin pisang ama pasangannya. Di ujung sana ada yang sudah mulai melakukan peregangan agar tidak cidera.

It’s a serious event. I didn’t expect this.

‘Yang itu dari Bandung, Bang. Mereka lumayan terkenal untuk level nasional.” bisik Gaida ke gue.

Sementara di sini, ada gue yang baru latihan ngegym setahun yang lalu. Duduk kursi roda karena masih kekenyangan akibat sarapan bubur tadi pagi.

Sekarang masih sesi deadlift, sesi bench press ada di bagian paling akhir jadwal hari ini.

Dari pengeras suara, panitia berulang kali memanggil nama peserta dan jumlah angkatan yang mereka lakukan.

170 kg! 195kg! 200kg!

Buset deh! Ini orang-orang kerjanya apa? Kuli beras apa gimana? Jumlah angkatannya jauh banget dari gue.

Oke, gue jelasin dulu seberapa berat beban yang gue bisa angkat beban.

Latihan bench press sebenarnya belum lama gue lakukan, mungkin baru 7-8 bulan terakhir. Latihan-latihan pertama yang gue lakukan bersama Gaida adalah rotasi dan penguatan core karena kondisi gue yang udah kelamaan di kursi roda.

Waktu pertama kali ngangkat beban, bahkan gue cuma dikasi ngangkat batangnya aja.

Only the bar!

Beratnya 20kg tanpa beban apapun di kiri kanan. Berat standar batang yang digunakan untuk angkat beban.

Itu pun udah cape buat gue. Pelan-pelan, berat itu ditambah ama Gaida setiap kali gue latihan.

Every time I went to gym, the weight changed. Dari awalnya 20kg, 30kg, 35kg, 40kg, 50kg, …..

Day by day..

Dan dua hari sebelum event, gue bisa mengangkat 67,5 kg. Itu personal best (PB) gue.

Gue nggak pernah mengangkat lebih berat dari itu.

Dan menurut hitungan Gaida, gue bisa naik dari 65kg, 68kg hingga ke 70kg di event kali ini. Gaida punya rumus gimana dia bisa dapetin angka itu. Gue nggak tau pasti caranya gimana, gue percayakan itu ke Gaida.

Dengan rencana ini, toh kalau gue gagal di angkatan ketiga, gue udah berhasil di dua sebelumnya. Gak jelek-jelek amat untuk seorang peserta ekshibisi.

Tapi saat mendaftar ulang, panitia membawa kabar buruk buat gue.

Karena gue adalah peserta ekshibisi, gue cuma dikasi 1x angkatan.

Jadi bukan 3x seperti peserta lain. Mungkin biar gak terlalu lama memakan waktu yang lain. Lagi-lagi, gue ngerti.

Yauda, this is it. One attempt only. Make it or break it!

Gue gak punya opsi untuk mengukur kekuatan angkatan kali ini. Gak bisa trial dulu dari 65kg lalu naik ke 70kg seperti rencana gue di awal.

Gue harus menentukan beban yang mau gue angkat di awal.

“Langsung 70kg aja ya bang?” saran Gaida.

“Bisa gue, Gai?” gue gak yakin.

“Bisaaaa..” kata Gaida mantap.

Gue langsung diajak pemanasan ama Gaida, mulai dari stretching hingga repetisi benchpress mulai dari 40kg naik hingga 65 kg.

Di angkatan yang 65kg, gue gagal. Udah gak keangkat lagi. Gue udah kecapean.

“Apa kayaknya 68kg aja ya Bang? Yang terakhir udah nggak keangkat tuh..” tanya Gaida.

“Nggak tau, gue ngikut aja..”

Giliran gue makin mendekat. Sesi deadlift dan squat sudah selesai.

Area ‘panggung’ utama mulai dibersihkan dan dijadikan arena untuk bench press. Di kiri kanan bangku bench press tersebut ada dua referee, satu lagi di bagian kepala peserta. Masing-masing dari mereka memegang bendera putih dan merah.

Kata Gaida, kalau bendera putih artinya angkatannya oke. Kalau merah artinya gagal, mungkin karena postur atau tekniknya yang salah.

Jika dua dari referee tersebut mengibarkan bendera merah, artinya angkatan itu gagal. Jika dua atau tiga-tiganya mengibarkan bendera putih, artinya angkatan itu berhasil.

Dan gue perhatikan, MC dan penonton biasanya akan berteriak “good lift!” ketika angkatan peserta berhasil, terlepas dari siapa yang mengangkat. Harus gue akui, crowd weight lifting ini asik dan suportif sekali.

Dan giliran gue pun akhirnya tiba.

“Jadi bang, pastikan unrack dulu, naikin di atas ampe sikunya ngunci. Trus turunin pelan ampe ke dada. Ketika panitia teriak ‘press’ baru diangkat ya!” Gaida memberikan wejangan terakhir buat gue.

Gue udah nggak fokus.

Suara Gaida udah terdengar samar-samar. Pandangan gue udah cuma terpaku ke bangku itu. Gue cuma pengen mendengar “Good Lift!” kali ini.

No more, no less. 

Penonton juga kayaknya udah berharap ama gue. Sayang aja rasanya udah kesini dan menunggu berjam-jam terus angkatan gue gagal.

Kayak lo udah ngantri, beli tiket konser Raisa, trus pas Raisanya, nyanyi suaranya fals.

Kan gak enak.

So I need to give my best. Gue cuma punya satu kesempatan.

Aku adalah Raisa. Aku adalah Raisa.

Teriakan penonton udah mulai bergemuruh (anjay).

Ketika nama gue dipanggil, gue mendekat ke bangku. Berjalan pelan-pelan dengan walker gue. Gue adalah satu-satunya peserta dengan disabilitas di sini. Beberapa tepuk tangan sedikit menghilangkan rasa gugup yang gue alami.

Gue mulai mengambil posisi tiduran. Tangan gue erat menggenggam besi itu. Ini adalah bar yang dipake khusus untuk kompetisi.

Sedikit lebih kasar dari biasanya.

“Bar is loaded.” kata MC di pengeras suara.

“Up!”

Gue pindahkan beban itu terangkat dari penyangganya. Berat.

Berapa nih? 68kg? kok lebih berat dari biasanya?

Siku gue sudah mengunci sempurna.

Gue turunin beban itu hingga menyentuh dada. It’s now or never.

Entah kenapa, waktu seperti berjalan lebih lambat dari biasanya.

“Press!” teriak panitia.

Gue langsung hentakkan sekuat tenaga. Otot-otot lengan langsung berkontraksi, seperti berteriak untuk mengeluarkan asam laktat.

Arrrgggghhhh…

Sayup-sayup terdengar teriakan penonton memberikan dukungan terakhir melihat lengan gue yang mulai bergetar.

Mmmmmppphhhhhh… Beraaaattttttt…

Gue paksakan sisa-sisa tenaga hari ini untuk keluar.

I can’t let the crowd down. I can’t let my coach down. And the most important thing, I can’t let myself down.

Arrggghhhh… Aku adalah Raisaaaaaa…..

And boom, gue bisa meluruskan lengan dengan sempurna.

Gue dorong beban itu ke belakang hingga tersandar di rak penyangganya.

Dengan sudut mata, gue melihat referee di samping gue mengangkat bendera putih di tangannya.

“Good lift!” teriak MC dari pengeras suara.

Dan yah….

Rasa lega itu langsung menyeruak dalam hati.

Gaida langsung membantu gue untuk duduk kembali.

“Berapa tadi tuh, Gai?” tanya gue.

“70kg, Bang!”

“Hah? PB gue, dong?” gue memastikan karena tidak percaya.

“Iya, makanya. Mantap!”

And that’s it.

Sesi gue jadi lifter gadungan berakhir sudah. Gue pindah ke samping memberikan kesempatan untuk lifter berikutnya tampil. Tentu dengan beban yang lebih berat.

But they are not my competitors. I am against myself in this journey.

Personal best 70kg kali ini sudah jauh lebih hebat dari 20kg berat batangnya saja saat pertama kali gue latihan.

Dan sekarang, saatnya Raisa latihan lagi.

1 thought on “Lifter Gadungan”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top