Beberapa malam yang lalu gue diundang ke acara ulang tahun temen gue. Acaranya sih biasa aja. Cuma nongkrong di pub sambil makan.
Ketika sudah menjelang tengah malam, gue ijin buat pulang duluan. Badan yang masih terlalu lelah akibat beraktivitas seharian tampaknya nggak bisa diajak kompromi.
Usia emang nggak bisa bohong.
Union Street, jalan paling ramai di Aberdeen, sudah tampak sepi. Ketika musim dingin seperti ini, orang-orang memang memutuskan untuk banyak berdiam di rumah. Bayangkan saja, matahari sudah tenggelam sejak pukul empat sore.
Gue menarik resleting jaket lebih tinggi hingga ke leher. Angin musim dingin yang berasal dari laut Utara mencoba menyusup masuk ke badan. Acara ulang tahun tadi yang sedikit bernuansa dadakan membuat gue tidak sempat untuk memakai jaket yang lebih tebal. Suhu udara mencapai nol derajat malam ini membuat gue sedikit merasa kedinginan. Uap air keluar dari rongga mulut dan hidung setiap kali gue mengehembuskan napas. Sinus gue mulai kumat.
Sambil melilitkan syal untuk menutupi hidung, mata gue melihat sekeliling. Dan tiba-tiba ada rasa hampa yang gue rasakan.
Gue akan meninggalkan kota ini.
Tanpa terasa, program pendidikan gue selesai sudah. Setelah satu tahun belajar di kota ini, menempuh pendidikan di salah satu universitasnya, kini gue siap untuk pulang ke Indonesia.
Kota ini sebenarnya nggak terlalu spesial dibandingkan dengan kota-kota lain di Inggris atau di Scotland.
Kota yang dikenal sebagai Europe’s energy capital ini kental banget dengan industri migasnya. Reputasinya sama seperti Texas di Amerika Serikat. Kota ini juga bukan tujuan wisata utama di Scotland seperti Ediburgh. Jumlah penduduknya juga nggak banyak, hanya seperempat juta jiwa.
Jumlah yang sama mungkin bisa kita temukan di salah satu kecamatan di Jakarta. Kotanya bernuansa abu-abu, mayoritas bangunannya terbuat dari granite hingga dijuluki The Granite City.
Tapi bagaimanapun, kota ini telah menjadi salah satu kota favorit gue.
Bersama dengan Medan, Banda Aceh, dan Bandung, kota ini menjadi saksi di mana gue tumbuh dan berkembang. Belajar mendewasa sambil mencicipi nikmatnya ilmu pengetahuan di salah satu universitasnya.
Kini petualangan gue di kota ini hampir berakhir.
Tidak ada lagi Union Street, tidak ada lagi perjalanan menembus Seaton Park menuju ke kampus, tidak ada lagi nongkrong berjam-jam di perpustakaan demi assignments, dan tidak ada lagi aula-aula dingin University of Aberdeen yang sudah berdiri sejak 600 tahun yang lalu.
Kota ini sudah menempa gue. Mengajarkan gue banyak hal, mulai dari ilmu industri migas, kerja part-time di pom bensin hingga cara memasak kari ayam.
And I am grateful for that.
So, thank you Aberdeen. And I’ll see you another time.