Bunda dan Internet

Gue punya Bunda yang sangat update.

Jika dibandingkan dengan orang tua teman-teman gue yang lain, sepertinya cuma gue yang memiliki Ibu yang paling melek media sosial.

Mulai dari Facebook, Instagram, hingga Smule dia punya.

Aplikasi terakhir bahkan baru di-install-nya baru-baru ini.

“Bosen Bunda di rumah. Kan lumayan bisa karaokean sendiri” pungkasnya.

Gue hanya menghela napas panjang sebagai bentuk rasa pasrah melihat Bunda yang sangat eksis di dunia maya.

Awalnya nggak kayak gini. Awalnya bunda hanya punya handphone jadul yang cuma bisa dipakai untuk telfon dan smsan.

“Nggak ngerti Bunda cara makenya.” setiap kali melihat gue menggeser jari-jari di layar smartphone gue.

***

“Bunda mau hape baru nggak?” tanya gue ke Bunda waktu melewati counter hp di salah satu pusat perbelanjaan.

Bunda kali ini sedang mengunjungi gue di Jakarta.

“Mau lah! Hape yang ini udah lemot, Bang” kata Bunda bersemangat.

Awalnya gue cuma mengajak Bunda untuk menemani gue mencari modem internet di pusat perbelanjaan ini. Tapi melihat Bunda yang secara diam-diam mencuri-curi pandang ke jejeran hape yang dipajang, akhirnya meluluhkan hati gue.

“Yauda, yang ini aja, ya?” tanya gue.

Bunda hanya mengangguk girang. Gue langsung memilih satu di antara beberapa handphone android yang kira-kira masih masuk budget gue.

“Yauda, Mas. Saya ambil yang ini satu.” kata gue kepada penjaga counter HP yang tadi memperhatikan gue.

Hape yang gue pilih nggak mahal, tapi cukup responsif, kamera yang jernih dan dengan daya baterai yang tahan lama.

“Ini kayaknya cocok buat Bunda” kata gue dalam hati.

Sepulangnya dari sana, Bunda persis seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan baru.

Dia mulai belajar bagaimana cara menggunakan handphone ini dengan baik. Dia mulai belajar mengakses kamera (untuk selfie tentu saja), install aplikasi-aplikasi chatting, dan yang paling penting…Facebook.

Facebook menjadi media sosial favorit Bunda. Setiap hari, dia pasti menyisihkan waktu untuk log in ke Facebook.

Awalnya sih gue agak risih, mempunyai Ibu yang sangat update di Facebook dengan foto-foto selfie yang muncul hampir tiap hari. Bunda tidak seperti ibu-ibu pada umumnya yang gagap teknologi.

Tapi sepertinya, terasa salah untuk melarang Bunda menekuni hobi barunya ini.

Sepulangnya Bunda ke Medan, gue baru menyadari tentang apa yang baru saja gue lakukan. Kegemaran Bunda terhadap media sosial semakin menjadi-jadi.

Bunda sekarang benar-benar update dengan sosial medianya.

Hampir setiap pagi, gue akan menemukan postingan selfie Bunda di laman Facebook gue dengan caption:

“Selamat pagi, teman-teman dumay.”

……………..

Dumay. Dunia maya.

Entah dari siapa Bunda belajar istilah itu.

Lain waktu gue akan menemukan postingan Bunda tentang resep-resep makanan. Esoknya gue akan menemukan video Bunda yang sedang karaokean lagu-lagu Dewi Yull di Smule.

Atau tidak jarang, gue akan di-tag di artikel-artikel ceramah keagamaan yang di Facebook.

Gue risih.

Gue risih terhadap rutinnya gue harus menemukan postingan-postingan Bunda di laman Facebook gue.

Postingan-postingan itu rutin gue temukan hampir setiap hari. Hingga beberapa minggu yang lalu, kejadian yang aneh mulai terjadi.

Tidak ada lagi postingan selfie setiap pagi menyapa teman-teman dumay.

Tidak ada lagi postingan resep makanan di halaman depan.

Tidak ada lagi tag ceramah yang di nama gue yang biasanya gue temukan.

Bunda ke mana?

Postingan di Facebook Bunda mulai menghilang, chat di Whatsapp yang tidak pernah dibalas, membuat gue bertanya-tanya.

Gue khawatir diabetesnya kumat. Biasanya dalam kasus seperti ini, itu yang terjadi.

Malam itu sepulangnya gue dari kantor, gue segera menelepon Bunda untuk menanyakan kabarnya.

“Bunda kenapa? Kok udah mulai jarang posting lagi? Sakit?” tanya gue was-was.

“Nggak, pulsa bunda abis, Bang. Hehe.” kata Bunda polos.

“Ya ampun, kirain bunda kenapa-kenapa. Yauda, biar abang isiin lagi pulsanya.” kata gue sedikit lega.

Biasanya untuk mengisi pulsa atau paket internet seperti ini, gue harus ke ATM, tapi sejak era smartphone dimulai gue selalu menggunakan Traveloka.

Nggak perlu keluar kamar, opsi pilihan pembayaran yang banyak tersedia, hingga jaminan keamanan transaksi jadi alasan utama buat gue.

Caranya pun mudah, tinggal buka aplikasi, masukkan nomor tujuan, jumlah yang ingin dibeli, dan bayar.

Gue langsung memasukkan nomor Bunda dan jumlah pulsa yang ingin gue beli. Nggak butuh waktu lama, sebuah chat muncul di layar hape gue.

Dari Bunda.

“Abang, pulsanya udah masuk. Bunda sekarang bisa isi paket data lagi. Makasih ya!”

Dan besoknya, gue kembali menemukan postingan-postingan Bunda di Facebook seperti biasa.

***

Akhirnya gue menyadari, bahwa semengganggu apapun postingan-postingan Bunda di Facebook, gue mulai menyukainya.

Postingan-postingan itu sebagai tanda perhatian Bunda ke gue, anak lelakinya yang terpisah jarak Medan-Jakarta.

Foto-foto selfie itu menjadi tanda buat gue kalau Bunda di sana nggak kenapa-kenapa. Diabetesnya nggak kumat, hatinya sedang gembira, dan kesehatannya terjaga.

Postingan-postingan itu membuat gue merasa aman, karena tau Bunda di sana sedang baik-baik saja.

Karena dengan bertambahnya umur, munculnya jarak, dan perhatian yang mulai berkurang, media sosial menjadi sarana untuk Bunda agar tetap terhubung dengan anak-anaknya.

Dan pagi ini, ketika gue kembali mengintip postingan dumay Bunda di Facebook, sebuah pesan dari Bunda muncul di atas layar.

“Bang, isiin pulsa Bunda lah. Paket data Bunda udah habis, nih. Nggak bisa update lagi. Kan Abang bisa pesen dari Traveloka.”

Gue hanya bisa menghela napas panjang, menekan tombol keluar sekali, lalu membuka aplikasi Traveloka di pojok kanan layar.

Demi teman-teman dumay Bunda.

I love you, Mom.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top