Sepatu

Kita… adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu.

Kita… mati bagai tak berjiwa bergerak karena kaki manusia.

Aku sang sepatu kanan, kamu sang sepatu kiri.

Ku senang bila diajak berlari kencang, tapi aku takut kamu kelelahan.

Ku tak masalah bila terkena hujan, tapi aku takut kamu kedinginan.

Entah kenapa beberapa hari ini lagu Sepatu gue mainkan terus menerus di iTunes laptop. Lirik lagu yang sedikit nyeleneh dipadukan dengan irama yang mengalun lembut terasa pas sekali di telinga beberapa hari ini.

Entah karena lagunya yang bagus atau mungkin karena endorphin yang mengalir deras yang gue rasakan beberapa hari ini.

Senyawa kimia yang menyebabkan rasa bahagia. Senyawa ini biasanya dihasilkan oleh tubuh ketika kita selesai olahraga, atau yang paling sering ketika seseorang sedang jatuh cinta.

Buat gue sendiri, ntah apa penyebab mengalirnya endorphin kali ini. Mungkin karena gue baru saja menyelesaikan lari 10k kedua gue minggu lalu atau mungkin disebabkan hal lain yang lebih sederhana. Sesederhana notifikasi Line yang sering muncul tiba-tiba.

Notifikasi Line yang muncul dari Sepatu Kiri.

Gak spesial, hanya chat obrolan biasa. Tentang kesehariannya atau rencananya untuk esok hari. Sebuah cerita yang entah kenapa mulai bisa gue nikmati.

Dan sebuah kegiatan yang awalnya bersifat spontan, kini menjadi rutinitas. Rutinitas yang lama hilang, kini mulai kembali gue nikmati. Dan tanpa sadar, sudah melibatkan perasaan.

“I want you to kill that feeling!” ujarnya waktu itu.

“Kenapa?”

“Because I don’t want to hurt you” ujarnya pelan.

Ada jeda panjang yang muncul. Hanya denting sendok dan garpu beradu terdengar di warung steak malam itu. Gue berusaha mencerna potongan kalimatnya. Menyusun potongan-potongan logika yang tersisa.

Pandangan kami kembali beradu tanpa sengaja. Dia langsung membuang mukanya ke arah lain. Dan gue selalu tau, itu tandanya dia sedang malu.

“Trus lo mau gue gimana? Mau gue pergi? Gue ngilang?” tanya gue.

Dia hanya tertunduk dan menggelengkan kepalanya.

“Yauda, gak usah dibahas lagi. Tuh lanjutin makannya aja.” kata gue.

Gue mengamati wanita di depan gue ini. Sang Sepatu Kiri.

Wanita yang entah kenapa bisa dekat dengan gue. Kecantikannya, kecerdasaannya, kepribadiannya, kesederhanaannya entah kenapa menjadi kombinasi yang berbahaya.

Layaknya sebuah sepatu mahal yang biasa dipakai model papan atas. Dia adalah sepatu yang harus disimpan dalam etalase kaca. Untuk selalu dijaga, dikagumi dan dimimpikan.

Berbeda dengan gue Sang Sepatu Kanan yang mungkin lebih tepat dipanggil sandal jepit jika dibandingkan dengannya.

Bagian reff dari lagu Tulus mengalun pelan dari speaker laptop menyadarkan lamunan gue :

Kita sadar ingin bersama, tapi tak bisa apa-apa.

Terasa lengkap bila kita berdua, terasa sedih bila kita di rak berbeda

Di dekat mu, kotak bagai nirwana. Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya.

Tulus sepertinya benar. Beberapa hari ini semua terasa seperti di nirwana. Saling tebak, saling goda, saling menerka. Endorphin yang bercampur dengan rasa penasaran.

Logika yang seringkali berbenturan dengan perasaan. Spontanitas dan keseruan yang muncul dari kegiatan-kegiatan sederhana. Perhatian-perhatian yang muncul secara perlahan. Semuanya berpadu dalam situasi yang rumit.

“Entah kenapa semuanya menjadi rumit kalo ama lo” katanya waktu itu.

Dan gue hanya bisa tersenyum menikmati semua situasi yang membingungkan ini.

Terdengar lagu Tulus memasuki bagian akhir. Lirik lagu Sepatu yang menjadi penutup harmoni lagunya.

“Cinta memang banyak bentuknya, mungkin tak semua… bisa bersatu.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top