Paspor

Waktu gue kecil dulu, rasanya gue susah sekali untuk pergi jalan-jalan. Tidak ada cerita tentang liburan mengunjungi nenek di desa. Kalau gue ingin mengunjungi nenek, gue cukup pergi ke kamar belakang. Nenek gue memang tinggal bersama keluarga kami.

Oleh karena itu, rasanya susah sekali buat gue untuk menulis cerita-cerita liburan setiap pelajaran mengarang di awal caturwulan. Imajinasi gue terbatas, hanya bisa melihat dunia dari sebuah layar kaca di ruang keluarga.

Dan sejak itulah, gue bermimpi melihat dunia.

Tumbuh dan besar di salah satu propinsi paling ujung di Indonesia membuat gue semakin ingin keluar dan berpetualang. Melihat tempat-tempat yang selama ini cuma bisa gue bayangkan. Tapi kok rasanya susah sekali. Faktor jarak, umur dan biaya sepertinya menjadi penghalang utama.

Dan mimpi itu mulai terwujud sejak gue berhasil kuliah di Bandung.

Waktu itu gue menyusun rencana sederhana,.

  1. Rencana jangka pendek adalah keliling Jawa.
  2. Rencana jangka menengah adalah keliling Indonesia
  3. Dan jangka panjang adalah keliling dunia.

Rencana jangka pendek itu mulai gue lakukan sejak kuliah, dengan mencicil kota-kota di pulau Jawa dengan modal seadanya. Jogja, Tasikmalaya, Kuningan, Pelabuhan Ratu, Jogjajakarta mulai gue datangi.

Semuanya berhasil gue lakukan dengan biaya seminim mungkin. Patungan teman teman-teman, naik bis umum atau kereta kelas ekonomi bersama orang-orang yang membawa ayam atau pisang.

Sementara itu, rencana jangka menengah gue lakukan saat mulai bekerja. Kesempatan mengunjungi klien di luar kota juga gue selipkan dengan liburan dadakan. Cilacap, Perwokerto, Surabaya, Palu, Makassar, Balikpapan, Samarinda, Bali, Banyuwangi, Semarang sudah gue kunjungi.

Hal itu juga gue kombinasikan dengan liburan dengan budget terbatas yang gue lakukan. Derawan, Tanjung Bira, Palembang, Lombok, Liburan ke Sabang, Banten dan Papua berhasil gue injak dan nikmati.

Melihat daftar kota-kota itu, rasanya rencana keliling Indonesia sudah perlahan-lahan bisa gue coret dari bucket list gue.

Akhirnya gue mulai menyusun rencana jangka panjang gue yaitu keliling dunia.

Rencana itu gue mulai dengan membuat sebuah buku kecil berwarna hijau di awal tahun 2011. Empat negara ASEAN menjadi tujuan gue waktu itu. Malaysia, Vietnam, Thailand dan Singapura. Sebelas hari backpacking tanpa henti melintasi empat negara.

Kebiasaan itu seolah menjadi candu buat gue. Hongkong dan Macau gue rencanakan sebagai target selanjutnya. Tapi karena satu dan lain hal, rencana itu harus gue batalkan.

Di tahun 2012, gue mengunjungi Filipina.

Makati, Manila dan Boracay sudah gue kunjungi. Di tahun yang sama gue juga mengunjungi Penang, Malaysia untuk menemani bokap yang mau berobat. Di tahun 2013, langkah gue semakin jauh. Jepang menjadi tujuan gue. Osaka, Kawaguchiko, Nara, Hiroshima, Tokyo, Nara dan Kyoto gue jajal dalam sepuluh hari.

Di tahun 2014, gue berhenti sejenak. Alasan waktu dan finansial yang banyak terpakai untuk persiapan beasiswa menjadi alasannya.

Di tahun 2015, buku kecil berwarna hijau itu kembali mengantar gue melanglang buana. Kali ini alasannya adalah untuk menempuh pendidikan.

Inggris dan Scotlandia menjadi dua negara pertama yang gue jelajahi. Aberdeen, Glasgow, Edinburgh, Perth, Dundee, Birmingham, Manchester, Liverpool dan London sudah gue datangi.

Dari sisa-sisa uang beasiswa gue menyusun rencana eurotrip yang sudah gue idam-idamkan dari dulu. Jerman, Hungary, Italy, Norwegia, Perancis dan Denmark akhirnya bisa gue datangi.

Kota-kota yang selama ini cuma bisa gue lihat di layar kaca, akhirnya bisa gue lihat dengan mata kepala sendiri. Berlin, Budapest, Lyon, Roma, Vatikan, Oslo, Copenhagen, Aarhus, Alpen, dan Geneva sekarang bisa gue coret dari daftar.

Akhirnya semua momen itu kembali terngiang ketika beberapa hari yang lalu gue ingin memperpanjang paspor yang akan habis masa berlakunya Januari 2016 tahun depan.

Gue harus ke kedutaan besar Indonesia di London untuk melakukan hal ini. Tidak ada konjen atau kedubes Indonesia di Scotland. Perjalanan 13 jam naik bus dari Aberdeen ke London harus rela gue lakukan hanya demi hal ini.

Dan ketika gue duduk di ruang tunggu kedutaan besar Indonesia di London, sambil menunggu nama gue dipanggil untuk dilayani, tangan gue kembali membolak-balik halaman demi halaman buku itu.

Melihat cap dan stempel imigrasi yang melekat di dalamnya. Membayangkan bahwa mimpi sebuah anak kecil itu kini sudah setengah jalan.

Mimpi yang dulu sepertinya mustahil, yang akhirnya perlahan mulai tercapai. Mengunjungi tempat-tempat indah di dunia, merasakan udaranya, dan menjadi warga dunia.

Dan dengan menggenggam buku kecil berwarna hijau ini, gue ingin ada sebuah rasa aneh yang tiba-tiba muncul. Rasa haru dan rasa syukur.

Terima kasih Tuhan karena telah memeluk mimpi-mimpi saya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top