Medan, sekitar bulan Juli tahun 1997
Waktu itu pagi pertama di awal tahun ajaran baru.
Gue baru saja menginjak kelas 4 SD. Seperti awal tahun ajaran baru pada umumnya, pagi ini gue dipenuhi rasa excited yang berlebihan.
Rasa kangen dengan teman-teman sekelas yang muncul karena sudah berpisah selama sebulan bercampur dengan rasa benci-benci tapi rindu kepada guru-guru, hingga rasa penasaran akan ajang pamer perlengkapan sekolah yang baru antar teman yang akan terjadi nanti.
Semua perasaannya campur aduk.
Buat anak sekolah, tahun ajaran baru memang selalu identik dengan perlengkapan sekolah yang baru. Mulai dari seragam baru, tas baru hingga sepatu baru.
Tapi tidak dengan gue.
Seragam dan sepatu gue masih sama seperti tahun lalu. Tanpa atribut apapun yang berbeda dari tahun sebelumnya, gue tetap semangat untuk bersekolah.
Pagi ini gue bangun agak cepat dari biasanya. Rasa senang bercampur semangat ingin ke sekolah membuat tidur gue tidak nyenyak tadi malam. Pagi-pagi sekali gue sudah bangun, mandi dan langsung bersiap pergi ke sekolah.
Seragam putih merah itu sudah terlipat rapi di lemari. Bunda telah menyetrikanya buat gue semalam. Warna putih dari baju seragam itu sudah pudar menjadi sedikit kekuningan. Akibat dari seringnya gue gunakan dan terpapar asap kendaran setiap kali gue berjalan kaki pulang sekolah.
Setelah mencatut diri di depan cermin, gue langsung menyambar tas yang tergeletak di atas kasur dan keluar dari kamar. Di dalam tas kumal itu sudah ada beberapa buku catatan dan buku latihan yang sudah tersampul rapi dengan kertas cokelat hasil kerja keras gue kemarin.
“Nak, makan dulu!” kata Bunda mengingatkan.
“Iya Nda,” ujar gue singkat.
Gue segera menuju ke belakang. Di atas meja, sudah ada nasi goreng sebagai menu sarapan pagi ini. Lengkap dengan telur mata sapi dan segelas teh manis hangat sebagai pelengkap.
Tidak banyak yang gue makan, hanya beberapa suap yang berhasil masuk ke dalam perut. Rasa ingin pergi ke sekolah seolah menghilangkan nafsu makan gue sekarang.
Dari sana, gue berpaling ke rak sepatu di dekat pintu. Sepatu hitam yang sudah gue cuci sebelumnya gue raih dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri sibuk merapikan ujung kemeja agar kembali masuk ke dalam celana pendek berwarna merah yang gue kenakan.
Sepatu ini tidak baru, masih sepatu yang sama yang gue gunakan tahun ajaran sebelumnya. Solnya sudah sedikit rusak. Bagian yang merekatkan sol dan bagian dinding sepatunya sudah mengelupas. Menyebabkan masuknya debu ke dalam sehingga membuat kaos kaki putih gue menjadi kecokelatan setiap hari. Tapi tidak mengapa. Masih bisa gue gunakan.
Setelah selesai memasang talinya yang sengaja dilepas saat gue cuci kemarin, gue sedikit kaget melihat kaos kaki yang tersedia di dalamnya.
Kaos kaki itu sudah kendor. Bagian karet yang harusnya ketat menempel di betis kini sudah mengendur kehilangan elastisitasnya. Kaos kaki yang sudah terlalu sering digunakan, dicuci dan disikat sehingga telah tidak layak digunakan.
Akibatnya kaos kaki itu melorot hingga menyentuh mata kaki gue. Mengganggu sekali.
Ingin mencari solusi, gue berpaling kepada Bunda.
“Bunda, ini kaos kakinya melorot. Gimana? Nggak ada yang baru?” tanya gue polos.
“Belum ada, udah pake aja yang itu dulu ya.”
“Ambil karet di plastik kecil di dekat kompor. 2 biji ya” perintah Bunda kemudian.
Masih bingung dengan apa maksud Bunda, gue langsung berlari ke dapur mencari apa yang dimaksud Bunda.
Tak selang berapa lama, gue kembali ke depan lengkap dengan dua buah karet gelang di tangan.
Bunda lalu memasangkan karet gelang itu ke betis gue, menarik kaos kakinya hingga tepat di bagian tulang kering. Kiri dan kanan. Menjadi penjepit antara kaos kaki sehingga tetap menempel di kulit. Agar tidak keliatan dari luar, ujung kaos kakinya dilipat ke luar agar menutupi karet itu dari pandangan.
Mungkin Bunda melakukannya demi alasan estetika, atau sekadar hanya ingin mencegah terlihat dari pandangan teman-teman gue nantinya di sekolah. Atau siapapun yang melihat.
Mungkin Bunda tidak mau anaknya dijuluki ‘Bocah Dengan Karet Gelang di Kakinya’. Entahlah, gue juga tidak tau sampai sekarang.
Gue kembali mencatut diri di depan cermin. Jika diperhatikan dengan seksama, jepitan karet itu pasti kelihatan. Tapi tidak mengapa, toh siapa yang mau memperhatikan kaos kaki gue? Yang penting kini kaos kaki itu tidak lagi melorot. Sudah menempel kuat di betis. Bahkan mungkin terlalu kuat, hingga terasa menyumbat edaran darah.
Gue yakin karet ini akan meninggalkan bekas nanti siang. Tapi biarlah, yang penting kini gue siap ke sekolah.
Gue langsung meraih tangan kanan Bunda dan menempelkannya ke dahi.
“Abang berangkat ya!”
Lalu gue berlari ke luar rumah. Gue ingin sekolah.
***
Aberdeen, awal Januari 2015.
Ini sudah jam 9 pagi, tapi suasana di luar masih gelap seperti waktu subuh di Indonesia.
Gue melongok ke luar jendela mencoba membiarkan cahaya masuk ke dalam mata. Di luar masih sedikit sepi, hanya terlihat beberapa mahasiswa berjalan kaki yang ingin pergi kuliah.
Sekilas tadi mata gue melirik aplikasi cuaca di layar smartphone yang tergeletak di atas meja. Pagi ini suhu Aberdeen hampir menyentuh satu derajat celcius. Udara yang cukup ekstrim untuk manusia tropis seperti gue ini.
Gue berusaha semaksimal mungkin menjaga agar badan tetap hangat. Setelah memakai long john, gue melapisinya lagi dengan kaos, cardigans dan jaket. Kombinasi yang membuat gue terlihat seperti lemper ini cukup ampuh untuk menghalau dingin.
Sambil menarik resleting jaket hingga ke leher, gue mengambil sepasang sepatu yang ada di dekat pintu kamar. Di dalamnya ada sepasang kaos kaki putih tebal yang masih bersih. Karetnya berfungsi normal, menjaga kaki agar tetap hangat meski gue yakin udara dingin nanti akan tetap berusaha menembusnya.
Sesudah mengunci pintu kamar, gue langsung berjalan menuju kampus. Sergapan udara dingin langsung menyerang muka ketika gue membuka pintu flat tempat gue tinggal. Hembusan uap air keluar dari mulut gue ketika berjalan, seolah menandakan napas gue yang terburu waktu.
Gue mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencari mahasiswa lain yang menuju kampus dan berusaha mengikutinya.
Gue memang belum terlalu hapal jalan ke sana, dan saat ini mengikuti mahasiswa lain adalah cara yang paling sederhana.
Hari ini adalah hari pertama kuliah gue sebagai mahasiswa postgraduate. Setelah hampir 6 tahun berhenti mengenyam pendidikan lanjutan, kini gue akan belajar lagi.
Rasa excited yang sama kali ini kembali gue rasakan. Gue seperti Tirta kecil yang bersemangat ketika akan kembali masuk sekolah delapan belas tahun yang lalu.
Mengikuti kelas, mengerjakan tugas, bertemu orang baru, dan nantinya akan mengikuti ujian. Semua itu harus gue lakukan sendirian, ribuan kilometer dari rumah. Dan kali ini tidak ada Bunda yang bisa membantu menyiapkan sarapan.
Perlahan, rintik hujan mulai turun menerpa wajah. Dengan ujung mata, gue sedikit melirik ke bawah, memeriksa apakah kaos kaki gue sudah mulai basah.
Kaos kaki yang berbeda sudah menemani gue kali ini. Kaos kaki yang kali ini merekat erat ke betis tanpa bantuan sebuah karet gelang.
Kaos kaki yang berbeda, negara yang berbeda, dengan sebuah tekad yang sama.
Gue ingin sekolah.