Gue adalah orang kampung.
Yang sekarang hidup di kota besar.
Kadang, kekampungan gue keluar tanpa gue sadari. Mulai dari logat Sumatera ampe kelakuan-kelakuan norak gue. Dan semua itu memang sengaja ngga akan gue hilangkan, karena ini adalah sebagian bentuk kecintaan gue terhadap kampung gue.
Salah satu ikatan gue terhadap kampung halaman.
Dan belakangan ini, gue merindukan kampung halaman gue.
Gue kangen Aceh.
Dulu waktu gue SMP, hidup di Aceh terasa lebih sederhana.
Sekolah, naek gunung atau maen sepeda.
Berbeda dengan anak-anak kota besar yang akrab dengan mall, video games dan alat-alat elektronik, anak-anak di daerah cenderung lebih dekat ke alam.
Dan kini gue kehilangan aktivitas-aktivitas yang bisa gue lakukan waktu kecil dulu. Gedung-gedung bertingkat yang dulu selalu gue idam-idamkan sewaktu kecil kini semakin kehilangan pesonanya.
Pemandangan gunung dengan sawah yang terhampar luas memang lebih cocok buat gue.
Di depan rumah gue dulu di Aceh, adalah hamparan sawah dengan latar belakang pemandangan gunung yang menjulang. Disinilah gue dan teman-teman gue bermain. Di beberapa petak sawah yang tidak digunakan, akan kami ubah menjadi lapangan bola sederhana.
Tiang gawangnya kami buat dari batang kuda-kuda yang dipotong dengan gergaji sederhana. Cukup gali lubang setinggi lutut dengan linggis, lalu masukkan batang kuda-kuda dan timbun kembali.
Voila, tiang gawang sederhana sudah tersedia. Daun batang kuda-kuda ini juga berguna untuk meredakan mimisan ketika kebanyak bermain dibawah terik matahari. Tinggal petik yang agak muda, lalu sumpel ke lobang idung yang mimisan.
Untuk tiang gawang bagian atasnya kadang kami hanya mengikatnya dengan tali plastik, hanya sebagai penanda saja. Yang sering sekali jadi bahan argumen diantara kami, apakah bola melewati bagian atas atau bawah tali plastik itu. Lalu berantem. Biasa keributan khas anak kecil.
Ketika musim panen selesai, dan ketika hamparan padi yang menguning sudah selesai digiling, batang-batang padi kering itu akan di tumpuk dipinggir.
Menjadi tumpukan jerami yang tinggi.
Dan dengan sengaja, gue dan teman-teman gue akan berlari kencang kemudian membantingkan badan di tumpukan itu. Saling lempar-lemparan dengan jerami. Atau kadang membuat ajang gulat smack down di tumpukan itu. Hahaha.
Sangat menyenangkan.
Terkadang tumpukan jerami itu akan gue sebar di bawah gawang, sebagai penahan badan agar ketika gue jatuh agar tidak terlalu sakit saat gue menjadi penjaga gawang.
Bermain dengan jerami kering memang menyenangkan, tapi efek sampingnya tidak. Badan akan gatal seharian. Tekstur batang padi kering yang sedikit berbulu menimbulkan gatal luar biasa. Udah mandi bersih make sabun masih bersisa gatalnya.
Tapi ngga masalah.
Imajinasi telah mengubah petah sawah kering menjadi arena petualangan.
Dan kini,
Dari sebuah cubicle di ruangan ber AC di lantai 9 sebuah kantor di Jakarta, gue menulis ini.
Gue kangen bermain di tumpukan jerami.
Indah :)
@farah : hahaha, thanks :D
bacanya antara sejuk dan sedih deh, Ta.
adiza : ahhhhh, lo dapet pesannya berarti :D
Bang, satu saran gue, ‘cepetan resign’ huehehehhe
Emang gak denger apa itu jerami pada manggil dari kejauhan? ,
katanya, ‘Tirtaaa pulangglaaah ke kampunggg naaakk’ hahahah
di kampung memang lebih indah…
masa kecil yg sangat menyenangkan. terbayang indahnya masa kanak2 yg bikin melow :(
Same with me rupanya. Di depan rumah gue yang di kampung juga hamparan sawah dengan latar belakang pemandangan gunung yang menjulang. Begitu indah. Dulu juga gue suka nemenin abang sama temen2nya main bola di sawah. Kadang juga gue sampe ikutan maen karna waktu kecil gue termasuk tomboy wkwk. Dan bener bangettt kak tirta, kalo abis main di sawah itu gatelnya bukan main. Tapi itu gak jadi hambatan buat maen bola di sawah haha. Aaah jadi kangen masa kecil yang bahagia huhu:(