Setelah berjanji untuk menulis hal-hal yang menarik selama di Jepang, ini adalah tulisan pertama gue tentang #JalanJapan.
Sebenarnya ide gue sama dengan si Roy yang pengen nulis tentang canggihnya toilet di Jepang, tapi karena udah ditulis si Roy di sini, gue akan bahas yang lain.
Buat yang belum tau, #JalanJapan adalah hashtag yang muncul di twitter gara-gara gue dan si Roy pergi ke Jepang dengan budget seadanya (baca : menggembel) November lalu.
Oke, kita mulai dari awal.
Kesulitan utama gue ketika traveling adalah masalah perut. Makanan adalah tantangan gue yang utama ketika pergi ke negara orang.
Gue gak suka sushi yang dimana ini akan sangat bertentangan dengan negara tujuan gue kali ini : Jepang. Gue gak suka ikan mentah, karena gue bukan keturunan kucing garong. Yang kalau liat mangsa mengeong, main sikat main embat mangsa yang lewat. *split di depan sound system*
Gue mendadak gelisah. dan langsung bertanya ke Roy.
“Roy, lo ke Jepang bawa apaan?”
“Tenang ta, gue bawa keripik kentang. Biar ada asin-asinnya dikit kalo makan”
“Hahahahaha, norak lo! Udah keren-keren ke Jepang bawa makanan sendiri. Eh, nanti bagi gue ya?”
Kekhawatiran terhadap keberlangsungan hidup gue di Jepang pun mendadak berkurang.
Selama perjalanan ke Jepang, gue dan Roy berbagi tugas. Roy bertugas mempersiapkan semua detail perjalanan kami (hostel, tiket, jalur kereta, hingga objek wisata) dan gue bertugas menikmati hasil kerja keras Roy.
Karena gue gak enak ama Roy, gue akhirnya berinisiatif mencari pekerjaan. Bukan, gue gak pake celana bahan sambil bawa CV ke Jepang. Maksud gue adalah, gue ikut melakukan sesuatu selama perjalanan ini.
“Roy, gue ngapain nih?”
“Udah, lo belajar bahasa Jepang aja. Biar kalo nanya2 jalan lo yang ngomong. Tuh, udah gue beliin bukunya.”
Roy emang sangat persiapan dan pengertian. Kalo Roy itu perempuan mungkin udah gue kawinin.
Setelah gue pikir-pikir, pembagian tugas ini agak konyol. Karena kalo dilihat dari muka, maka Roy itu udah mirip orang Jepang. Harusnya dia yang belajar bahasa Jepang, bukan gue. Gue mah mirip orang padang. Padang pasir.
Tapi karena gak enak, akhirnya gue mengalah dan mengambil buku percakapan bahasa Jepang yang sudah dibeli Roy.
Gue langsung belajar sedikit bahasa Jepang yang gue kira akan berguna seperti :
“Terima kasih banyak” = “Arigatou gozaimasu ”
“Permisi. Tokyo Station ke arah mana?” = “Sumimasen, Tokyo Stesiong Wa doko de suka?
Atau kalimat yang paling penting seperti :
“Saya gak makan Babi” = “Butaniku Wa Dame Dasu.”
Kalimat terakhir adalah hal yang paling penting dikuasai untuk bisa bertahan hidup di Jepang. Karena di Jepang, hampir semua makanan mengandung babi. Fungsi babi di Jepang mungkin sama kayak fungsi mecin di Indonesia. Gak pake babi gak enak.
Mungkin di suatu dapur di Jepang, ada seorang koki pemula yang sedang kebingungan di depan seniornya :
“Duh, ini kok kurang enak ya masakan gue?”
“Kamu kurang naro babi tuh. Banyakin babinya! Kalo perlu masukin satu kandang.”
Intinya, Jepang menjadi cobaan buat gue dalam upaya mencari makanan halal. Sedangkan buat Roy, Jepang adalah surga.
Jadi “Saya gak makan babi” adalah kalimat pertama yang harus gue kuasai.
“Butaniku wa dame dasu” gue agak kepayahan sambil mengintip buku percakapan yang sedari tadi gue pegang.
“Butaniku wa dame dasu..butaniku..’’ gue bergumam berusaha menghafal kalimat itu.
Babi itu butaniku.. Wa adalah saya. Butaniku wa = saya adalah babi. Hmm, wait..
Butaniku adalah satu-satunya hal yang gue apal selama di Jepang. Hal ini tentu bertolak belakang dengan Roy yang menyangka gue sudah hapal semua percakapan bahasa Jepang berkat buku pembeliannya.
Dan waktu kita nyasar di Tokyo, Roy pun bilang ke gue.
“Ta, tu ada cewek cantik. Tanya ke dia ta!” gue susah membedakan Roy yang tersesat atau berniat modus.
“Siap!” gue tentu saja gak mau kehilangan muka di depan Roy.
Gue pun mendekati sang cewek cantik yang sedang berdiri menunggu Arjuna dari Indonesia.
“Sumimasen..” kata gue perlahan.
“Hmmm” Sang cewek cantik menoleh dengan muka polos khas cewek Jepang.
Kalo di film-film JAV, percakapan ini akan berlanjut dengan bagian dimana gue akan mempereteli pakaiannya dan kami akan berjalan telanjang di dalam gerbong kereta sambil melakukan adegan yang tidak senonoh.
Tapi sayangnya bukan, gue harus fokus menanyakan arah tujuan. Gue gak boleh malu-maluin. Pikiran ngeres itu akhirnya gue abaikan. Gue ingin berkonsentrasi menanyakan jalan ke Tokyo Stasiong.
“Summimasen..Anoo..”
Bumm! pikiran gue mendadak nge-blank.
Gue lupa bahasa Jepangnya nanya jalan apaaan! Gue berusaha menggali ingatan gue. Pokoknya ada suka-sukanya.. Si komo sukaaa ..sukaa… si komo suka sesama!
Anjir, kenapa si Komo jadi homo gini?! Akh, gue lupa!
Si cewek Jepang sudah mulai menunjukkan muka terganggu. Entah kenapa, mendadak ada satu kalimat yang muncul di kepala. Bodo amat! Gue tanya aja ah.
“Summimasen..butaniku?”
“……….”
Dan gue baru saja mencaci cewek Jepang.
Gue buru-buru meralat omongan gue dan memilih untuk bertanya dalam bahasa Inggris.
“Excuse me, can you show me how to go to Tokyo Station?”
Si cewek jepang cuma bisa menggeleng sambil tersenyum : “No English…”
“……..”
Arrrrrghhhh, Butanikuuuuuuuu!