Setelah selesai membaca Traveloveing 2, banyak mention yang masuk ke twitter gue menanyakan kelanjutan tulisan gue di novel itu. Gimana Cacha? Gimana Denira? Kok lo ganteng banget sih Ta? (oke, yang terakhir itu bohong)
Semuanya mengerucut menjadi sebuah pertanyaan :
What’s next?
Sejujurnya gue gak tau, we will see where it goes from here.
Tapi ada satu bagian yang bisa gue bagi untuk kalian. Tulisan di bawah ini merupakan epilog cerita gue di Traveloveing 2. Bagian ini harusnya menjadi penutup bab terakhir cerita gue . Tapi ketika proses editing berjalan, gue akhirnya memutuskan untuk tidak memasukkan cerita ini ke dalam novelnya. Cukup untuk menjadi epilog yang cuma ada di romeogadungan.com. Khusus kalian untuk pembaca blog ini. Kurang baik apa coba gue?
Spoiler alert!
Ini sebaiknya dibaca ketika sudah menamatkan Traveloveing 2 biar gak merusak imajinasi kalian tentang cerita gue. Yang belum baca, bisa beli novelnya di Gramedia atau pesen online di pengenbuku.net. Enjoy! :D
————————————————————————————————————————————-
***
Ding!
Lampu kecil bergambar sabuk pengaman di atas kepala telah menyala. Menjadi sebuah reminder untuk semua orang agar memasang tali pengekang yang tersedia di setiap tempat duduk. Aku meraih sabuk pengaman yang tadi terjuntai ke bawah. Memasangnya melingkari perut dan memastikan kepalanya terkait satu sama lain.
Klik!
Suasana pesawat ini sedikit riuh. Para pramugari berlalu lalang memberikan instruksi dan memastikan kesiapan semua penumpang untuk lepas landas. Yang lainnya tampak berjalan membelah lorong badan pesawat sambil menghitung jumlah penumpang yang telah masuk.
Aku hanya diam dan menyenderkan kepala ke sandaran kursi. Majalah yang tersedia dalam kantung kursi di depanku tergeletak saja tanpa ku sentuh. Aku berusaha memejamkan mata, sambil berkonsentrasi untuk memikirkan hal lain.
Semuanya untuk mengusir sakit ini.
Perih, itu yang aku rasakan sekarang. Malu, adalah hal kedua yang menyusulnya. Aku sangat berharap semoga saja trip kali ini bisa mengalihkan perhatianku dari patah hati ini. Semoga saja tumpukan kerjaan dan jadwal meeting yang padat bisa menjadi jalan keluar.
“Sudah sudah, you deserve someone better.” sebuah suara muncul di dalam kepala. Berusaha meyakinkan diriku sendiri. Untuk bisa memulai semuanya dari awal lagi.
Air mata yang sejak tadi aku tahan kini akhirnya tak terbendung lagi. Dia menetes melalui sudut mata, keluar tanpa permisi. Aku menyeka air mata berulang kali, berusaha agar tidak terlalu menarik perhatian penumpang lain dalam pesawat ini. Tapi entah mengapa dia terus mengalir seolah tanpa henti.
Aku sebenarnya lega akhirnya dia bisa jujur mengungkapkan perasaannya. Jujur padaku, dan terlebih lagi jujur pada dirinya sendiri. Tapi kejujuran itu gak datang sendirian. Dia datang membawa luka.
Luka hati, sebuah luka yang muncul akibat tajamnya goresan sebuah perasaan.
Aku meraih handphone dari dalam tas untuk mematikannya sebelum take-off. Mataku menangkap notifikasi Whatsapp yang muncul di atas layar. Sebuah chat masuk darinya.
“Aku minta maaf ke kamu. Semoga kamu bisa mengerti maksudku bersikap seperti ini. Maaf.”
Jariku bergerak cepat mengetik balasannya..lalu tiba-tiba terhenti. Bukan karena sengaja, tapi air mata yang menghentikannya.
DRAFT : Aku ingin kamu memilihku. Bukan dia.
Delete draft? Yes | Cancel
Deleted.
Tangisku kembali pecah. Great, now I look like a bitch. An ugly crying bitch. Tapi kali ini tangis itu tidak bertahan lama. Sebuah suara muncul dari samping yang menghentikannya.
“Ini buat kamu.” seseorang menyodorkan tissue kepadaku. Keberadaannya yang tadi ku abaikan cukup mengagetkan. “…Kayaknya kamu lebih butuh dari aku.” sambungnya penuh simpatik.
Sekilas aku meliriknya, jaket yang membungkus kemeja birunya, dan kabel earphone berwarna putih yang terlepas sementara dari telinganya menandakan perhatiannya padaku.
“Thanks.” aku langsung menyambar tissue pemberiannya. Crying is not the part from this business trip. So I’m not prepared.
“Hmmm.. Maskapai ini gak ada pramugarinya ya? Yang ada emaknya pramugari.” katanya dengan muka polos.
Aku tersedak menahan tawa sambil menyeka air mata yang dari tadi masih menetes. Komentar yang sangat bodoh yang sengaja keluar untuk menghiburku.
“Gue Adit.” dia menyodorkan tangannya.
“Denira.” jawabku pelan sambil menyambut tangannya.
Mungkin ini bisa menjadi awalnya.
Mungkin.
“Why do you travel?” | “To learn how to start over”
FIN-
Kereeeeeen! :D