“Susan..Susan..Susan..kalau gede mau jadi apa?”
“Aku ingin jadi dokter biar jadi insinyur” (gue lupa liriknya. Hahaha)
Gue sepenuhnya menyalahkan Susan dan Ria Enes atas doktrin “anak kecil jadi dokter” yang terjadi selama bertahun-tahun di negeri ini. Dokter sepertinya menjadi cita-cita wajib seluruh anak Indonesia. Waktu gue SMPB dulu, hampir semua teman gue memilih Fakultas Kedokteran di pilihan pertama mereka.
Sindrom ‘Jadi Dokter’ ini juga menghinggapi nyokap gue waktu itu.
“Abang gak mau milih FK? Keluarga kita belum ada yang dokter lho” rayu nyokap waktu itu.
“Engga ah nda, gak suka FK” gue teguh pada pendirian.
Akhirnya gue terdampar di Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi. Menjadi akuntan gak pernah terbayangkan sebelumnya. Karena bagi anak Sumatera, there’s no such this as being an accountant who works in a company.
Kerjaan itu ya dokter, polisi atau PNS.
Mungkin inilah yang menyebabkan dokter itu seolah menjadi lebih mulia dan hebat dari profesi lain. Anak kedokteran identik dengan lambang kepintaran. Padahal pada kenyataannya, belum tentu.
Gue kenal dengan anak teknik yang dapet penghargaan “One Step To Noble Prize” waktu di masih SMA. Senior gue di kampus dapat gelar Phd di umur yang belum menyentuh tiga puluh.
Jadi menanggapi polemik dokter yang muncul beberapa hari ini, gue seolah tergelitik untuk membuat tulisan tentang hal ini.
Sebelumnya gue ingin mengklarifikasikan satu hal :
Tulisan ini adalah murni opini gue. Mungkin lo gak akan setuju, tapi at least ambil ini sebagai salah satu persepsi yang beredar di luar sana.
Buat yang terlalu malas baca berita (dan memang berita yang beredar di media massa membuat malas dibaca karena terlalu banyak istilah medis), kasus ini bermula ketika tiga dokter dipidanakan karena dianggap telah melakukan malpraktik yang berujung pada kematian pasiennya.
Argumen para dokter, tidak ada malpraktik yang terjadi.
Itu adalah resiko yang terjadi akibat penanganan medis yang sudah sesuai prosedur dan benar-benar di luar kendali para dokter.
Tampaknya Mahkamah Agung tidak setuju dan tetap ingin mempidanakan kasus ini. Dan ketiga dokter itu akhirnya ditangkap. Ketiga dokter juga ini sempat buron, yang sedikit mengherankan buat gue (kalau ngerasa benar ngapain kabur? Okelah, takut itu manusiawi. Mungkin gue juga akan bertindak hal yang sama)
Polemik dimulai ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghimbau seluruh dokter di Indonesia untuk melakukan aksi solidaritas dengan cara bertafakur (ini istilah yang dipake IDI) atau melakukan aksi publik.
Himbauan juga muncul untuk tidak melakukan pelayanan medis kecuali untuk orang tidak mampu dan unit gawat darurat.
Oke, begitu inti kasusnya. Gak ada yang demo menuntut kenaikan gaji atau sebagainya.
Sekarang masuk ke opini gue :
Waktu pertama kali mendengar kasus ini, hal yang pertama melintas di kepala gue adalah : “What the hell?!”
Sejujurnya, gue gak peduli dengan kasus ini. Tapi ketika sudah menyangkut hajat hidup orang banyak, gue jadi gatel pengen komentar.
1. Mau bikin aksi solidaritas?
Silakan, tapi jangan mengganggu kegiatan orang lain. Buat yang tinggal di Jakarta, pasti kerasa macet akibat aksi damai ini. Mungkin dokter-dokter yang melakukan aksi damai ini adalah orang yang sama yang mengeluh akibat macet yang timbul akibat demo buruh.
Yaelah ta, picik amat. Masalah macet aja diributin.
Iya, gue emang sepicik itu. Mungkin gak banyak yang mengerti, tapi pagi-pagi udah kena macet itu bikin bad mood.
2. Gue percaya gak ada dokter yang mau mencelakakan pasiennya.
Gue sepenuhnya percaya hal itu. Bahkan melihat penjelasan teman-teman dokter atas kasus medisnya, mungkin kali ini gue berpihak pada mereka.
Tapi gue melihat standar ganda dalam hal ini. Masih inget kasus Prita? Dimana seorang pasien dirugikan oleh hukum? Kemana suara para dokter ini? Kenapa gak ada yang berkomentar? Karena bukan rekan sejawat?
3. Himbauan untuk tidak melakukan tindakan medis kecuali orang tidak mampu dan gawat darurat
Ketika baca ini, gue mikir “Apa-apaan lagi ini?”
Jadi selama dokter mogok kerja, gak boleh ada orang yang kaya yang sakit? Gimana orang yang mau medical check-up untuk tes kerja? Gimana kalo ada yang demam?
Kesan yang gue tangkap dari mogok ini adalah Arogansi.
“Lo dengerin nih protes gue. Kalau gak, gue gak mau kerja. Lo sakit gak ada yang nyembuhin. Gue cuma mau ngobatin kalo lo melarat atau udah sekarat.”
Dan hal yang ditakutkan benar-benar terjadi :
http://www.merdeka.com/peristiwa/dokter-di-medan-mogok-banyak-pasien-terlantar.html
http://regional.kompas.com/read/2013/11/27/2052529/Dokter.Demo.Pasien.Melahirkan.di.Toilet.Puskesmas
http://jogja.tribunnews.com/2013/11/27/dokter-rs-tenriawaru-mogok-pasien-keguguran-terlantar/
http://id.berita.yahoo.com/dokter-mogok-pasien-di-banyuwangi-terlantar-032045418.html
Belum lagi foto yang beredar seolah dokter ini gak butuh dengan profesi lain.

Beberapa komentar yang gue baca bahkan menyebutkan bahwa profesi dokter itu lebih mulia dari profesi lain. Gue sepenuhnya gak setuju. Banyak guru yang akan sakit hati kalau membaca komentar-komentar yang kayak gitu.
Banyak orang yang berkomentar seperti itu mungkin karena dokter punya pengaruh langsung ke masyarakat. Sakit, pergi ke dokter lalu sembuh. Tapi banyak juga profesi yang gak kalah mulianya. Yang gak berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari kita sehingga kadang terlupakan atau dianggap rendah derajatnya.
Guru yang mengajar anak-anak. Polisi atau tentara yang rela dikirim ke perbatasan untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Engineer yang rela berbulan-bulan berada di rig tengah laut agar bisa menggali minyak untuk orang banyak, tukang sampah yang setiap hari berkeliling menjaga agar suatu komplek perumahan tetap bersih.
Masih mengklaim dokter paling mulia?
Sekarang silakan tanyakan kepada orang Aceh, yang tinggal di Medan, atau di Kalimantan, atau propinsi-propinsi lain yang dekat dengan perbatasan Malaysia atau Singapore. Ketika mereka sakit, kemana mereka akan pergi berobat?
Waktu gue berobat di Penang awal tahun yang lalu, hampir semua pasiennya adalah orang Indonesia. Meskipun mungkin kualitas pelayanan medisnya sama, tapi pelayanan di bidang lainnya jauh lebih baik.
Semua yang gue tanya disana jawabannya “Berobat kesini lebih yakin”
Dan sekarang dengan bersikap arogan seperti ini, you’re not doing yourself a favor guys.
Simpati masyarakat akan semakin hilang terhadap dokter-dokter Indonesia, yang gue yakin kualitasnya gak kalah ama dokter-dokter luar.
Silakan keluarkan kecemasan kalian dengan cara yang lebih bermartabat, bikin konfrensi pers, gunakan jas hitam atau apa kek.
Kalian ingin didengarkan? Kami ingin pelayanan yang prima. Simbiosis mutualisme kan?
Percayalah, kecemasan dan tudingan yang muncul itu akibat satu hal : Kami butuh kalian.
Mungkin dengan tulisan ini gue akan dicerca oleh para dokter (bahkan teman-teman gue sendiri). Tapi buat yang masih bisa berpikiran jernih, anggap saja ini keluhan dari calon pasien kalian.
“Susan..Susan..Susan. Kalo gede mau jadi apa?”
“Aku ingin jadi dokter yang disayangi pasien.”
Pertamax gan.
bener bgt, tulisan lo kaya pencerahan bagi jiwa yang redup.
setuju bgt dengan pernyataan “apakah dokter paling mulia???”
poin nomor 1 aku bnr2 ngalamin…
“boleh bikin aksi tapi jangan arogan” that’s the point!
*ngangguk-ngangguk*
True strory:
Tahun 2001, kakak gw jadi mahasiswa kedokteran dan langsung dipuja-puji sama keluarga besar.
Tahun 2013, adek gw yang cewe dengan mantap bilang ke orang-orang kalo dia mau jadi guru, tapi malah diketawain dan dianggap aneh. Seolah2 lulusan bilingual school gak cocok jadi guru, cocoknya ya…jadi dokter.
Mungkin stigma dari masyarakat inilah yang bikin beberapa dokter merasa lebih mulia dari profesi lainnya.
Gw setuju banget gak ada dokter yang sengaja bikin pasien meninggal. Separah2nya dokter ya paling mata duitan or jadi “agent pemasaran”.
Simpati dengan rekan sejawat boleh. Kasih dukungan moril juga boleh banget. Kalo dokter mau demo ya silakan, tapi jangan sampe mogok kerja jamaah. ini yang gw sesalkan, dokter-dokter yang pinternya 100x lipat dari gw ini jadi gak ada bedanya dengan buruh pabrik yang minta naik gaji. Masih banyak opsi cara demo lainnya; pake jas hitam or kumpul koin solidaritas buat dr. Ayu dkk.
Lagian, gak ada profesi yang kebal hukum. Capt. Marwoto, pilot pesawat garuda, dituntut 4 tahun penjara karena kecelakaan pesawat tahun 2007 di Jogja. Padahal mana mungkin dia sengaja sembarangan bawa pesawat dan melakukan kesalahan yang mengakibatkan 21 orang meninggal. Tapi proses hukum memang harus dijalani.
Sorry Tirta…….,,,,,,,malah jadi panjang :D :D :D
Setujuh!
Wew..
Setuja ta’,.. I seriously agree’..
Setiap profesi punya tanggung jawab masing-masing, dan yes i think some statement given by them was arrogant..
Semoga teman-teman dokter bisa paham, bahwa seluruh profesi itu itu mutual dan setara ya.. dan kalau memang mau prihatin, prihatinlah karena klinik2 di daerah terpencil kurang layak, prihatin karena banyak obat-obat tertentu yang sulit didapat.. :) prihatin karena masi banyak kasus gizi buruk ataupun nyawa yang hilang karena alat2 kedokteran belum memadai..
Demo simpatik tentu lebih mengena kan? :)
Baru pertama kali mampir ke blog ini, salam~ Hehe..
Dokter emang cita-cita yang mulia, tapi dulu pas kecil gue malah bercita-cita jadi pilot. Nggak terlalu ngikutin masalahnya, yang gue tau, dokter dan pasien saling membutuhkan satu sama lain. Bener, simbiosis mutualisme. \o/
@all : wah, thanks buat komentarnya. Emang semua orang perlu introspeksi deh.
He..he.he..biar dapat perspektif lain dari sisi para dukun, sileh liat disini :)
http://eddyjp.wordpress.com/2013/11/29/6-alasan-kampungan-kenapa-para-dokter-turun-ke-jalan/
ini berdasarkan pengalaman gw,, gw punya temen daftar polisi, STPDN dan kampus negeri gak lulus.. akhirnya keluarganya bela2in dia masuk ke universitas swasta jurusan kedokteran dengan rela membayar ratusan juta rupiah dkarenakan kakak iparnya itu seorang dokter mata (penting gak sih),,.. dan yg lebih miris org tuanya gak prnh mau tau kemampuan akademik anaknya.. walhasil sy dan temen2 yg lain mesti begadang setiap minggu untuk membantu dia men-translate literatur mata kuliah yang memakai bahasa inggris.. bahkan ketika ujian pun kita2 harus siap menerima bbm dia membantu mencarikan jawaban.. are u kidding me ???
gue ga bercita-cita jadi dokter, gw malah pengen jadi astronot. tapi saya cita-cita itu terlalu sulit di capai untuk seorang anak yang berasal dari indonesia apalagi cuma dari kota padang. gue berakhir di kampus yang sama ama lo bang. dengan jurusan ekonomi. justru jurusan gue lebih ribet lagi. gue masih kuliah. dan sampai sekarang gue masih susah jelasin ama orang-orang dirumah apa itu ekonom. mending auditor :P sorry curhat tapi intinya gw ga tertarik jadi dokter walau begitu banyak keuntungannya di esok nanti.
soal demo ini. gue sependapat ama lo, yang mana mereka malah kabur, ya kalo idealis benar yaudah buktikan, kan pepatahnya berani karena benar, ini malah ketakutan, ini membuat orang-orang menilai mereka jadi beneran salah (termasuk gue). dan dengan aksi mogok? gue heran apa dokter seindonesia sudah kehilangan akal karena jadi dokter, kreatifitas dan pola pikir mereka berubah jadi egois. banyak cara lain kok, dan dengan otoritas yang mereka punya, mungkin kebenaran yang belum pasti, semua dokter pun ikut berdemo. ini beneran kaya buruh aja, mentang-mentang ada yang nyuruh belum tentu bener eh ikut-ikut aja. suram
Nasehat saya cuma satu, banyak-banyak membaca ya…
http://dib-online.org/
@Riko Rivan : Saya menduga anda dokter. Iya gak? Tuh, komennya aja arogan. Seolah membenarkan tulisan saya.