Well, sepertinya sudah menjadi tradisi buat gue untuk menulis sebuah postingan tahun baru di blog ini. Mulai dari tahun 2011 hingga sekarang, gue nggak pernah absen untuk menulis postingan sejenis.
Tujuannya sih nggak aneh-aneh, cuma sebagai reminder buat gue untuk hal-hal yang sudah gue lakukan, dan apa yang akan gue lakukan tahun ini.
Awalnya gue bingung untuk nulis apa di postingan ini. As you all know, 2016 adalah tahun terburuk buat gue. Gue hampir mati karena GBS.
Lumpuh setengah badan, menghabiskan beberapa bulan untuk kencing dan beol di atas kasur, kaki yang mengecil seperti kaki belalang dan kehilangan semangat hidup.
Di tahun 2017, gue sedikit lebih baik. Gue kembali masuk kantor, ketergantungan ke kursi roda mulai berkurang, dan gue mulai membiasakan diri dengan kondisi gue yang sekarang.
Gue nggak tau apakah gue nanti bisa berjalan kembali, but I think I’ve prepared my heart to the worst.
Akhir 2017 gue habiskan dengan menonton film Wonder. Dan di film itu ada suatu kalimat yang bilang gini: “If you want to be normal, this is normal. Get used to it”.
And for me, I guess this is the new normal.
Don’t get me wrong, I am not giving up.
Gue akan terus menyeret kaki belalang gue ini untuk terus berlatih berjalan. Sampai nanti bisa berjalan, berlari dan bermain sepakbola lagi.
I can promise you that.
Tapi sementara itu, di 2018, gue akan berusaha untuk lebih ikhlas. Gue harus berhenti berharap orang lain akan terus memperlakukan gue seperti orang sakit.
Because I am not sick. Not anymore.
Dan ini berlaku untuk segala hal.
Untuk pekerjaan dan karir, untuk semua project kreatif yang selama ini tertunda (nulis buku lagi, mungkin?), untuk bisnis sampingan yang pengen gue jalanin, dan untuk semua kontribusi sosial (bikin Twitvestor lagi?) yang sudah gue janjikan.
Dua tahun sudah semua hal itu terunda gara-gara penyakit ini. I put everything on hold because of GBS.
And I am tired. Gue sudah lelah terus-terusan merasa lemah. Gue bosan dengan perasaan-perasaan kalah dipukuli oleh kejamnya takdir kehidupan.
Gue rasa sudah cukup. I need to fight back!
Sepertinya 2018 adalah tahun buat gue untuk berhenti marah. Lelah rasanya untuk terus-terusan marah atas kondisi dan nasib yang gue alami.
Marah sepertinya tidak akan membuat kondisi gue akan menjadi lebih baik.
Tahun ini gue harus mencoba kembali normal. Tahun di mana gue harus mengencangkan sabuk pengaman, dan kembali menginjak pedal gas secara perlahan. Meraih hal-hal yang selama ini gue cita-citakan.
Karena dengan atau tanpa kaki, hidup akan terus berjalan.
Welldonebro. :)
I feel you.
Membaca tulisan *kaki yang mengecil seperti kaki belalang dan kehilangan semangat hidup*. sambil memejamkan mata, antara merinding dan kedinginan dibawah AC, ada sedikit bulir yang menetes di pipi. Semoga tahun 2018 menjadi tahun untuk bangkit. Aamiin.
Semangat Ta!!
Tetep semangat ya kak
Dear Tirta,
Kalo aq sih, 2015 jadi tahun terburuk buat aku. Di taun itu baru ketauan kalo aq kena diabetes dg kadar gula 343. Selama 2 taun berikutnya semuanya seperti berkonspirasi ikut bikin hidupku makin chaos. Makin stress, gula darah makin ga karu2an; tangan sampe kejang ga bisa pegang barang, badan tambah kurus, lemah, dll. Sampe suatu hari aku ngeliat ke dalam mata anakku, Nindi- then suddenly i realize that i have to wake up. Bosen berharap di perlakukan seperti orang sakit. Capek terus-terusan nyalahin takdir. So here i am, beberapa hal sudah aku mulai untuk mengejar ketinggalan selama 2 taun ini. Ga tau bakal gimana nantinya, tapi setidaknya kita berusaha berbenah dan mencoba lagi.
Life must go on, So.. Keep spirit, Tirta! Semoga hal2 baik terjadi di taun ini ya, semoga km bisa berjalan lagi, mengejar ketertinggalan kemarin2, dan jadi lebih baik lagi dlm segala hal.
Salam dari kawan di Surabaya ?.
“but I think I’ve prepared my heart to the worst”
May I know how to prepare??
#seriouslynanya
Been following your blog since 2013. Dan gue baca 1 hal dari kualitas prbadi lu : perseverance.
Taun ini mgkin bakalan jadi taun terburuk buat gue ta. Gw sama kayak lu (atau tadinya gw mikir gw punya perseverance kayak gitu). Gw anak pertama, perempuan, dan 12 taun ngekos. Ortu ga sejauh lu dan gw trbiasa mandiri. mungkin salah kalo perempuan mandiri. Krn dia bakalan bikin standar kalo laki2 harus lbh mandiri. Kalo gue pantang menyerah, gue pikir laki2 harus lbh pantang menyerah.
Gue trapped di marriage yg gak gue sangka2. For 3 years. Suami gue ga nglakuin apa yg seharusnya dilakuin sama seorang suami. Ditambah lagi dia hobi ngutang, dan berkali2 gabisa bayar, dan selalu dibantu sama keluarganya. Berkali2 gue bertanya2, apa yg salah dari gue? Istikharah gw kurang mungkin pas sblm nikah? Atau gw kurang kepo soal background kluarga pasangan? Ini harga yang harus gw bayar utk pernikahan yang gak sekufu? Ato gue emg harusnya mean to be superwoman yg ga cmn jadi tulang rusuk tapi juga tulang punggung?
I lost my respect buat orang yang seharusnya jadi surga gue di dunia ta. Sementara kata pak ustad “penghuni neraka adalah wanita yg futur dari suaminya”. How? Gimana caranya lu respek sama pasangan lu yg trnyata #sorry to say# ga segigih itu buat istrinya? Gimana caranya lu respek kalo gw yg “ngedidik” dia? Gimana caranya gue respek kalo gw balik kantor bisa almost 3.00 am smntara imam gue tidur.
Gue lg in progress masukin divorce proposal gue ta. You’ve been through smua sakit lu dan lu masih survive, lu masih tau apa yg harus lu lakuin. It’s good. Ga smua orang tau ktika lu abis jatuh, pr lu selanjutnya adalah bangun.
Gue gatau sama skali apa yang mesti gue mulai after “that” status.
Positifnya, gue jadi lbh sering ngaji. Kemana lagi gue msti lari kalo Allah doang yg bisa nolongin gue?
Tapi kemanapun gw mau lari, ke al azhar lah, or nurul iman lah, gue masih gatau “how to prepare my heart to the worst”.
You don’t need to post my comment. I just need the answer of that “how”
First of all, I’m sorry for your loss. Not the loss of money, but the loss of expectations-towards-a-husband.
Sebelum gue mencoba ngasih pandangan soal ini, mungkin lo bisa jawab pertanyaan-pertanyaan seperti kualitas yang lo harapkan dari seorang suami, definisi rumah tangga yang ideal dan alasan lo memilih dia sebagai suami untuk diajak berumahtangga tiga tahun yang lalu.
Seberapa besar gap antara the ideal one dan the real one?
Bagaimana kebesaran hati lo untuk menerima gap itu?
There’s nothing such perfection and it’s nearly impossible to expect someone to meet all of your expectations. No one can make your dream comes true other than yourself.
Jangan menikah untuk minta dibahagiakan, tapi menikahlah jika sudah berbahagia.
Now that you’ve filed for divorce, it is your time to reset your mindset and expectations towards marriage and even yourself.
*Btw banyak temen gue yang jadi stay-home father karena karir istrinya lebih cemerlang. Tentunya mereka tetap melakukan tugas lain seperti masak, beberes rumah dan ngurus anak. Nggak ada lagi siapa-seharusnya-apa. Semua itu bisa asal dikomunikasikan dan ada kesepakatan.
Good luck.
Terus semangat gan, sy jg sakit cervical dystonia….ttp jalani hidup dg semangat, enjoy aja jangan jd beban
tetep semangat bang!!!
Smangat bang, i know what it feels,, kta sma cuma beda versi pnyakit,