Dari Makassar, gue akhirnya melangkahkan kaki gue ke Tanjung Bira. Dengan menyewa mobil beserta supirnya, gue dan teman-teman gue menempuh jalur darat dari Makassar ke Bira.
Tanjung Bira adalah sebuah pantai yang luar biasa cantik yang ada di Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan. Untuk menuju kesana, kita akan melewati beberapa kabupaten sejak berangkat dari kota Makassar.
Kabupaten pertama yang kita lewati adalah Kabupaten Gowa. Kabupaten ini adalah salah satu inspirasi untuk Dian Sastro waktu ikutan main film AADC.
“Trus salah Gowa? Salah temen-temen Gowa?!”
Kabupaten ini adalah daerah asal pahlawan nasional Sultan Hasanuddin, yang karena keberaniannya mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur oleh Belanda. Kebayang gak kalo Olga juga hidup di jaman kemerdekaan, mungkin Belanda juga akan menjulukinya menjadi Ayam Goreng Tulang Lunak.
Sebuah istana kerajaan Gowa yang berusia ratusan tahun masih berdiri kokoh ketika kita melewati daerah ini.
Setelah melewati Gowa, kita akan menuju Jeneponto, kabupaten yang kata supir gue, adalah daerah yang orang-orangnya cukup ‘keras’. Katanya, banyak preman berasal dari daerah ini.
“Orang dari daerah sini sulit mas. Keras-keras mereka dibandingkan daerah lain.”
Mungkin ketika daerah lain abis makan makan buah, mereka ngemil batu batere.
“Trus salah Gowa, salah temen temen Gowa?” kata Dian Sastro sambil nyocol batu batere pake kecap sambil bawa penggaris besi. Begitu kira-kira kalau Dian Sastro berasal dari Jeneponto.
Dari Jeneponto, kita berlanjut ke Kabupaten Bantaeng, kabupaten peraih adipura karena daerahnya yang bersih dan tertata rapi. Gak ada cerita lain yang bisa gue sajikan disini selain kebersihan kotanya yang memang diatas rata-rata.
Setelah sekitar tiga jam perjalanan, akhirnya kami tiba ke kabupaten Bulukumba.
Jangan tanya ama gue, siapa itu Kumba dan apa kehebatannya sampe bulunya bisa jadi nama kabupaten. Untung di Makassar gak ada orang yang namanya Ketek, karena bakal aneh banget kalo ada yang nanya ke gue :
“Eh, kemaren gimana ta? Buluketek bagus gak?”
“Hmm, ya gitu, agak keriting.”
Anyway, Tanjung Bira di Bulukumba adalah pantai putih bersih yang memiliki garis pantai yang panjang. Untuk gue pribadi, ini adalah pantai dengan pasir pantai terhalus yang pernah gue kunjungi.
Pasir pantainya kayak susu bubuk!
Di Bira, ada beberapa bungalow dan resort yang bisa disewa oleh para pengunjung. Tarifnya mulai dari yang ratusan ribu hingga jutaan rupiah per malam.
Tanjung Bira cocok sekali bagi anda pecinta ketenangan dalam menikmati alam. Kontur alamnya mirip dengan Sabang dengan garis pantai yang panjang dan bersih.
Gue sempet mengubur badan gue di pantai Bira karena kehalusan pasirnya menggoda gue untuk rebahan diatasnya.
Kita juga bisa snorkeling dengan menyewa kapal yang banyak disediakan. Target utamanya tentu saja Liukang Reef, sebuah pulau karang yang memiliki biota laut yang luar biasa. Liukang Reef ini berjarak sekitar setengah jam dari pantai Bira menggunakan kapal.
Visibility bawah airnya bagus banget, jadi ketika snorkeling daya pandangnya bagus dan jernih.
Sejauh ini, Tanjung Bira adalah salah satu pantai favorit gue. Duduk menikmati angin di sebuah kursi malas di pinggir pantai merupakan bagian kesukaan gue berlibur di pantai. Karena jadwal yang mepet, gue cuma menghabiskan satu malam di Tanjung Bira.
Di tengah perjalanan pulang, gue sempet nyobain tuak khas Sulawesi yang banyak dijajakan di pinggir jalan. Tuak ini dibuat dari cairan pohon enau yang dibiarkan cukup lama. Ada dua jenis tuak yang bisa dibeli yaitu tuak manis dan tuak beralkohol. Tuak manis, jika dibiarkan cukup lama akan menjadi tuak beralkohol.
Karena terus menerus dirayu oleh supir gue Pak Rauf, gue akhirnya berani mencoba tuak manis khas Sulawesi ini yang disebut Ballo’ oleh masyarakat lokal.
Ballo’ ini dijual dalam botol kemasan bekas air mineral yang telah dicuci bersih. Penampakannya yang keruh seperti air cucian beras sempat membuat gue ragu untuk mencicipinya. Ketika gue membuka tutupnya, gue ingin mencoba mengendus baunya untuk menimbulkan rasa haus agar bisa meminumnya tanpa masalah.
Tapi gue melakukan hal yang salah, baunya kayak pembersih lantai!
Karena sudah kepalang tanggung, akhinya gue menyodorkan botol minuman itu ke mulut gue dan memaksa untuk menelannya. Ternyata rasanya tidak terlalu buruk. Rasa manis hasil dari endapan enau itu cukup ringan di lidah. Rasa segarnya mirip rasa minuman isotonik yang banyak dijual di pasaran.
Dan dengan bermodalkan kebodohan, gue memutuskan untuk berkumur di tegukan kedua.
Dan seperti minum pembersih lantai, gigi gue mendadak terasa bersih dan kesat. Kini anda tidak perlu khawatir ketika anak-anak anda bermain di gigi gue. Bebas kuman!
Ketika melewati Kabupaten Jeneponto, gue dan rombongan memutuskan untuk makan coto kuda sebagai makan siang. Buat yang belum familiar dengan makanan ini, Coto adalah makanan khas Sulawesi. Sejenis sup daging yang dimakan dengan ketupat sebagai pengganti nasi.
Coto sedikit berbeda dengan soto. Jika soto dibikin dengan menggunakan daging sapi, coto dibuat dengan menggunakan daging capi.
Dan makanan yang akan gue coba kali ini menjadi semakin unik karena terbuat dari daging kuda. Iya, kuda.
Binatang yang suka narik delman istimewa lalu duduk di muka. Kasian pak kusir yang mukanya didudukin. Dasar kuda kurang ajar!
Tekstur dagingnya sedikit lebih alot dari daging sapi. Tapi kelihaian orang Sulawesi dalam mengolah daging tidak perlu diragukan. Kombinasi rempah yang dicampurkan dengan sup daging selalu saja bisa mengeluarkan air liur penggugah selera makan gue.
Setelah selesai makan coto kuda, gue akhirnya penasaran dan googling manfaat coto kuda, ternyata gue baru tau bahwa daging kuda itu rendah kolesterol dan baik untuk kesehatan. Tapi manfaat utama daging kuda yaitu…menambah vitalitas.
Serius gue.
Pantesan abis makan coto kuda, bawaanya pengen… ah sudahlah.
Bagian paling menakjubkan dari trip gue ke Bira kali ini adalah Kapal Pinisi. Bulukumba ternyata adalah salah satu daerah yang paling terkenal sebagai kampung para pembuat kapal Pinisi.
Gue menyempatkan diri untuk berkunjung ke salah satu tempat pembuatan kapal yang sudah melegenda ini. Dan begitu nyampe disana, gue tercengang!
Betapa tidak, tradisi pembuatan kapal selama ratusan tahun masih terjaga keasliannya. Tanpa alat yang canggih, blueprint modern dan hanya bermodalkan pengalaman selama bertahun-tahun, mereka bisa membuat kapal yang sudah teruji ketangguhannya untuk berlayar di samudera.
Sebuah kapal yang mampu berlayar mengelilingi dunia. Yang dibuat tanpa menggunakan paku, melainkan hanya menggunakan pasak kayu sebagai perekat. Dan untuk menutup agar lambung kapal tidak kemasukan air, sela-sela kayu di badan kapal akan diisi semacam serat kulit kayu dan dilanjutkan dengan proses penghalusan yang terus menerus.
Banyak sekali ritual budaya yang harus dilakukan ketika membuat kapal ini. Sebuah budaya yang harus dilestarikan agar bertahan ratusan tahun lagi.
Dan setelah melihatnya secara langsung, kapal Pinisi ini memang megah sekali!
Karena penasaran gue akhirnya bertanya harga kapal ini. Untuk sebuah tipe pesiar yang paling murah, harganya sekitar tujuh milyar rupiah! Dan ternyata kapal ini banyak dipesan oleh negara-negara seperti Inggris, Kanada dan Jepang.
Bahkan sebuah Pinisi tipe pesiar yang telah beroperasi di Raja Ampat sebagai salah satu hotel on board, rate menginap per malamnya itu mencapai puluhan juta rupiah.
Bagi kalian yang ingin membaca artikel tentang Pinisi lebih jauh, bisa ke link Wikipedianya berikut ini.
Secara garis besar, Tanjung Bira, Bulukumba dan Makassar adalah alternatif liburan buat kalian yang sudah bosan ke Bali. Di Indonesia, ada ratusan tempat lain, yang menawarkan kebudayaan lain dan pemandangan alam yang indah yang bisa dikunjungi selain Bali.
Transportasi yang tersedia kini sudah mudah, tiket pulang pergi dari Jakarta dan Makassar kali ini menggunakan Citilink cuma 1,2 juta rupiah untuk perjalanan pulang pergi. Murah bukan?
Sudah saatnya kita menggalakkan lagi pariwisata nasional.
Kalian pecinta pantai? Suka snorkeling? Suka makan? Dan suka budaya? Mungkin kali ini Makassar dan Tanjung Bira jawabannya.
Kenali negerimu, cintai negerimu.