Kemaren pas gue shalat jumat di salah satu mesjid di Cilacap, ceramahnya sedikit menggelitik gue untuk nulis ini.
Kalo gue ga salah nangkep,inti ceramahnya adalah kekhawatiran pak ustad terhadap keberadaan teknologi bagi anak-anak muslim.
Terhadap anak-anak remaja yang sekarang sangat dekat dengan teknologi, hingga anak SD sekarang yang sudah nenteng hape kemana-mana.
Kekhawatiran yang salah kaprah kalo menurut gue.
Gue menganggapnya cenderung kolot.
Bukan teknologi nya yang harus kita takuti pak, tetapi penggunaannya.
Jangan larang anak anda menggunakan handphone, tapi awasi isinya.
Jangan larang anak anda menggunakan laptop, tapi awasi penggunaannya.
Kondisi terbalik gue temukan ketika gue shalat jumat di kantor klien gue.
Seorang eksekutif muda duduk disebelah gue, di shaf barisan depan. Dia mengeluarkan iphonenya. Setan dalam kepala gue langsung berbisik.
“Dasar, bukannya diem nungguin ceramah, malah maen hape.” kata gue sirik.
Tapi begitu dia buka gadget canggih itu, dia langsung mengaji.
Dia ternyata baca Al Qur’an via handphone nya. Al Qur’an digital.
Sontak gue malu ama diri gue sendiri.
Seandainya pak ustad ngeliat kondisi ini.
Miris gitu, denger kata-kata si ustad tadi.
Miris gue juga ngeliat karpet yang berdebu di mesjid itu, dan membuat gue bersin bersin sepanjang shalat.
Miris ngeliat tempat wudhu yang agak kotor..
Kalo gue boleh berasumsi,
Jangan salahkan teknologi ketika mesjid sepi, jangan salahkan hal lain, ketika jumlah shaf yang berkurang.
Jangan salahkan siapa-siapa.
Tapi lihatlah apakah mesjid kita sudah menjadi rumah yang nyaman untuk beribadah.
Sudahkah karpet itu bersih untuk sujud kita?
Sudahkah tempat wudhu itu bersih untuk wudhu kita?
Sudahkah udara itu sejuk untuk ibadah kita?
Menurut gue, sekarang kita perlu stimulus-stimulus lebih untuk beribadah.
Sekarang bukanlah lagi jaman nabi, ketika keimanan mengalahkan segalanya.
Biarkanlah ‘pasar’ yang menentukan semuanya.
Seperti dalam paham ekonomi liberal, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Biarkan daya tawar sebuah mesjid menentukan ramainya jemaah. Biarkan kekuatan ‘permintaan’ untuk beribadah menjadi salah satu penentunya.
Gue juga yakin, beribadah adalah suatu kebutuhan dalam hidup manusia. Ada sebuah kebutuhan spiritual yang harus kita penuhi disana. Gue percaya setiap orang akan mencari kebutuhan itu.
Seperti Nabi Ibrahim yang berusaha mencari Tuhannya. Kita juga sama.
Jadi, kita beribadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual itu. Untuk mencari ridha-Nya.
Bukan karena iming-iming surga, atau ancaman disiksa di neraka.
Sebut gue islam liberal terserah anda.
Tapi gue pengen suatu saat nanti, ketika kita melihat umat muslim, bukan umat muslim yang dekat dengan kebodohan dan kemiskinan.
Gue pengen melihat umat muslim yang tidak takut dengan datangnya teknologi.
Maka, mana yang lebih anda pilih..
Umat muslim dengan Al Qur’an dan rotan dikedua tangannya
Atau umat muslim dengan Al Qur’an dan laptop dikedua tangannya?
Wa Allahu A’lam.
[…] This post was mentioned on Twitter by tirta agung prayudha, Alti Intan Pratiwi. Alti Intan Pratiwi said: so here's @tirtaprayudha 's new post on romeogadungan.com–> http://bit.ly/hTRktm Anw I chose being umat muslim yg baca quran+bawa ipad! :p […]
Apik tulisanmu Le… ^_^
salam kenal, kawan. gw suka dengan gaya penulisan lu.
Biarkanlah ‘pasar’ yang menentukan semuanya.
Seperti dalam paham ekonomi liberal, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Biarkan daya tawar sebuah mesjid menentukan ramainya jemaah. Biarkan kekuatan ‘permintaan’ untuk beribadah menjadi salah satu penentunya.
sedikit berkomentar atas tulisan lu. sungguh malang seandainya mesjid ditentuin oleh pasar, pake rebut2an jamaah segala. jadinya ntar kayak gereja2 di amrik sana dong, yang berlomba2 untuk memperbanyak jemaat mereka. pake LED sign untuk “menarik” dan masang iklan di spot2 yang menjual.
lalu di mana kesakralan Islam?
tentu elu setuju dengan jargon “jangan menjual agama” kan? tapi jika elu menyerahkannya ke mekanisme pasar, secara pasti “menjual agama” itu dipraktekin secara nyata.
solusi konkrit? dateng ke mesjid, ajak temen2 :)
karena memakmurkan masjid adalah kewajiban setiap muslim, bukan kewajiban DKM atau ustadz2. ngeberesin masjid, bersihin WC & karpet, blablabla…itu baru urusan DKM ;)
@oo : saya suka dengan komentar anda bung, mari kita memakmurkan mesjid.datang ke mesjid dan ajak kawan2.terima kasih sudah membaca uneg-uneg saya. :)
tulisan yang bagus banget.. beneran ini :)
“Bukan teknologi nya yang harus kita takuti pak, tetapi penggunaannya.” << setuju banget.. yang penting itu gimana kita menyikapi teknologi, bukan teknologinya. karena teknologi itu benda mati, ga akan ngaruh apa2 kalo ga da makhluk hidup yang ngegerakinnya
mantaaaph gan^^,
om, pernah ke cilacap gitu? cilacap mananya? lumayan luas loh,. yah, kayak se area jakarta selatan-depok mungkin,. kayak lho ya om,. hehe… *warga cilacap nih*
hihihi…maaf ya kalo komen nya ga penting,. :D
Bagus banget mas.. and i totally agree…
Itulah kenapa di lingkungan rumah, DKM aktif.. dan sosialisasi dilakukan tanpa kekerasan, tanpa paksaan, tanpa menakut-nakuti.. Hari gini nakut2in neraka, tudingan liberal, benran malah bikin orang mual, kayak abis makan nangka sebaskom.
eniweei.. keep on writing ya mas.. :)