Setelah beberapa hari tinggal di Aberdeen, gue masih terus berusaha beradaptasi agar bisa bertahan hidup di sini. Sejauh ini, Aberdeen adalah tempat merantau terjauh yang pernah gue datangi. Dan jujur, proses adaptasinya juga yang paling susah.
Ada banyak hal yang gue temui di sini yang gue anggap nyeleneh dan membuat gue berkata dalam hati : “Hah? Serius nih?”
Oke kita bahas satu persatu hal-hal yang gue anggap aneh selama gue nyampe di Aberdeen.
1. Bahasa
Hal pertama yang mengagetkan gue adalah : orang-orang di UK ini jago banget bahasa Inggrisnya, termasuk anak-anak kecilnya. Padahal udah gue cek, gak ada LIA English Course di sini.
Dan bahasa Inggris di UK, semakin ke utara maka aksennya akan semakin tebal. Jadi di Aberdeen, aksen Scottish jauh lebih tebal dari aksen British pada umumnya.
Jangan bayangkan bahasa Inggris dengan aksen macho kayak Jason Statham, tapi jauh lebih tebal dan aneh. Ingin terdengar seperti Jason Statham, gue mungkin akan lebih terdengar seperti Jason Inikah Rasanya.
Gue dulu selalu percaya diri dengan bahasa Inggris gue. Meskipun kadang grammar masih berantakan, gue selalu percaya diri untuk ngomong dan berbicara dengan orang lain dalam bahasa Inggris.
Banyaknya ekspatriat di kantor juga semakin mendukung keberanian gue untuk bicara dalam bahasa Inggris. Tapi sejak datang ke Aberdeen, ternyata gue salah besar.
Bule-bule di Indonesia tampaknya sengaja berbicara cukup pelan dengan artikulasi yang jelas agar orang-orang Indonesia bisa mengerti bahasa mereka.
But when you come to the place where this language was born, that’s the real deal.
MEREKA NGOMONG CEPET BANGET KAMPRET!
“Was wes wos was wes wos was wes wos, right?”
Dan lo cuma bisa cengok, diam dengan muka bego dan mengeluarkan satu kata yang secara kasual menurunkan tingkat intelegensia lo di depan semua orang :
“HAH?!”
LO NGOMONG APA BANGSAT CEPET BANGET KAYAK LAGI KUMUR-KUMUR?!
Ditambah lagi dengan Scottish accent yang tebal membuat gue harus benar-benar menyimak.
Ini baru beberapa hari padahal. Gimana nasib gue setahun ke depan?
2. Udara dan Cuaca
Hari-hari pertama gue di sini cuaca berkisar diantara 1-3 derajat Celcius. Ini peluang bagus kalau ada orang yang mau jualan cuanki di Aberdeen.
Sebenarnya udara 1-3 derajat tidak terlalu dingin jika kita memakai pakaian yang tepat, tapi yang paling menyiksa sebenarnya adalah anginnya.
Karena lokasinya yang dekat banget ama pantai, Aberdeen itu berangin banget.
Kadang ketika gue lagi jalan kaki, tiba-tiba gue harus diam karena terbawa angin. Untung gak terbawa perasaan.
3. Makanan
Makanan yang sering gue lihat di sini adalah burger, fish and chips dan pizza. Nggak ada Ayam Bakar Mas Mono atau Pecel Lele Lela di sini. Sebuah peluang bisnis sebenarnya untuk orang Indonesia yang mau datang ke Aberdeen.
Minimnya makanan yang pas di lidah membuat gue HARUS belajar masak. Untuk beberapa minggu ke depan, gue yang sama sekali nggak bisa masak ini (kecuali Indomie) akan bereksperimen di dapur.
Tunggu saja hasil kreasi gue dalam hal memasak nanti. Pokoknya Chef Juna harus siap-siap dapet saingan baru.
4. Budaya
Gue masih agak kaget sih ama sistem self service di Aberdeen. Waktu ke belanja ke supermarket, gue terkejut melihat mesin kasir dimana kita harus check out belanjaan kita sendiri.
Barang-barang yang sudah kita beli harus kita scan sendiri melalui mesin, bayar sendiri via cash atau kartu, dan bungkus sendiri.
Jauh berbeda dimana jika dibandingkan dengan Indonesia dimana kita sebagai pelanggan cukup datang ke kasir dan akan dilayani sepenuhnya. Kasir akan mengumpulkan, menghitung, membungkus semua belanjaan kita dan bahkan menawarkan CD Agnes Monica sebagai extra service.
Indonesia memang luar biasa!
Hal yang sama juga berlaku di pom bensin, tempat cuci mobil dan fasilitas publik lainnya. Semuanya dilakukan sendiri. Gue curiga Aberdeen terlalu mengaplikasikan lagu Caca Handika dalam kehidupannya :
“Masak, masak sendiri. Tidur, tidur sendiri. Cuci baju sendiri.”
Gue sangat berharap konsep ini nggak akan dipakai di restoran. Karena males banget jadinya kalau kita datang ke restoran dan mau mesen ayam goreng, kita cuma dikasi sebuah golok dan si pelayan akan bilang :
“Kandangnya ada di belakang mas. Silakan pilih dan sembelih sendiri.”
Budaya lain yang agak mengejutkan buat gue adalah dimana mereka sangat menghargai keluarga. Di Aberdeen, rata-rata toko tutup jam 6 sore agar mereka bisa pulang tepat waktu dan berkumpul bersama keluarga.
Beberapa waktu yang lalu, pas gue mau beli perlengkapan mandi, gue ditolak mentah-mentah oleh pegawai toko ketika baru saja memasuki tempat itu.
“I’m sorry we are closed” katanya.
Gue cuma bergumam dalam hati dan bilang : ‘Wah, gak mau duit mereka’
Hal ini tentu saja tidak akan bisa kita temukan di Indonesia dimana ketika akan memasuki Indomaret dan pegawainya akan bilang :
“Maaf pak, kita sudah tutup.”
Bisa bangkrut Indomaret dan tentunya kita akan pindah belanja ke Alfamidi.
5. Kampus dan kehidupan perkuliahan.
Setelah sekian lama vakum dari dunia tarik suara perkuliahan, hari-hari pertama di kampus benar-benar berat.
Selain faktor bahasa, sistem perkuliahan di UK juga benar-benar baru untuk gue.
Mereka punya sistem penilaian yang berbeda dengan Indonesia. Grading system mereka punya lapisan yang bertingkat-tingkat.
Ketika penyambutan mahasiswa baru di Induction Program yang dilakukan oleh Program Director Business School, standar yang tinggi langsung ditetapkan kepada seluruh mahasiswa.
Mereka menekankan sekali tentang reputasi universitas selama ratusan tahun yang harus dijaga, plagiarism dan resikonya, hingga sistem perkuliahan gue yang nggak punya ujian sama sekali.
Penyesuaian juga harus dilakukan di pola pikir, dimana sebagai mahasiswa postgraduate kami dituntut untuk tidak hanya bisa menjawab pertanyaan tetapi juga menawarkan solusi lain, membandingkan alternatif, mempertahankan argumen dan menuliskan referensi secara akademis.
Sebagai contoh, di kelas pengantar Leadership gue yang pertama kemarin, gue harus benar-benar segera menyesuaikan diri.
Sebuah kelas MBA yang penuh dengan pemikir-pemikir brilian yang datang dari seluruh dunia, saling beragumen dan melakukan counter argument terhadap suatu isu nyata dunia bisnis.
Sementara di pojokan ada seorang blogger dari Indonesia yang dulu nggak tau arti Punten yang cuma bisa ngomong : “HAH?!”
***
Sejauh ini, Aberdeen merupakan pengalaman baru yang menyenangkan buat gue. Banyak hal-hal baru yang bisa gue ceritakan di blog ini.
Dan badan yang masih terbiasa dengan waktu Indonesia semakin membuat gue lancar menulis.
Gue kini bangun sekitar pukul 5 pagi dan matahari baru terbit pukul 9. Itu kayak gue bangun jam 2 pagi sewaktu tinggal di Indonesia.
But yeah, adjustments should be made.
Gue biasanya menghabiskan waktu dengan membaca pre-read materials untuk perkuliahan atau menulis untuk postingan blog. Jadi biasakan diri kalian, akan banyak tulisan gue tentang Aberdeen yang akan rutin muncul di blog ini.
Keep reading and gue kangen nasi padang.