Semalam, gue keluar untuk ngopi di sebuah kedai kopi di dekat rumah. Sebuah kegiatan yang sangat biasa, tapi menjadi sangat jarang gue lakukan sejak gue didiagnosa GBS tahun lalu.
Kondisi badan yang lemah, dan kaki yang belum sempurna membuat aktivitas di luar rumah seperti ini menjadi sangat berat. Gue harus bergantung kepada bantuan orang lain untuk proses mobilisasi.
Dan semalam, dengan menggunakan kursi roda, gue dan beberapa teman memutuskan untuk menghabiskan waktu di kedai kopi.
Seperti biasa, kondisi gue duduk di kursi roda dalam umur yang masih muda menyita perhatian orang-orang lain di sekitar gue. Gue bisa melihat beberapa pandangan kasihan yang berusaha gue abaikan.
Jujur, gue sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Sudah satu tahun belakangan, hal-hal ini terasa familiar buat gue.
Pada saat kami mau pulang, ketika gue hendak berpindah dari kursi roda untuk masuk ke mobil, tukang parkir yang membantu kami sepertinya tidak bisa menahan rasa penasarannya.
“Ini kenapa, bang? Cacat ya?”
Dheg!
Sepotong kata itu sempat membuat dada gue berdesir.
“Oh, nggak kok, bang. Lagi sakit aja.” teman gue menimpali untuk mengeluarkan kami dari suasana yang tidak nyaman ini.
Sepotong kata itu seolah menancap di hati gue.
Gue nggak suka mendengar kata cacat, tapi gue juga gak berhak untuk marah.
Tukang parkir tadi pasti gak berniat jahat ke gue. Dia hanya penasaran dengan kondisi gue. Itu saja.
Dan dia juga nggak salah.
Cacat menurut KBBI adalah kerusakan pada anggota tubuh yang menyebabkan kondisi badan tidak sempurna. Dan dengan kondisi kaki gue yang nggak sempurna pada saat ini, gue memang bisa dikategorikan sebagai kondisi cacat.
Gue memang cacat. Dan itu fakta yang seharusnya bisa gue terima.
Tapi kenapa gue kesel ya mendengar kata ini?
Sebenarnya alasannya cukup sederhana.
Kata cacat sudah mengalami suatu kondisi yang dalam bahasa Indonesia disebut peyorasi (penyempitan makna), lawan kata ameliorasi (perluasan makna).
Seperti kata ‘kroni’ yang sebenarnya bermakna kawan atau sahabat, kini ‘kroni’ sering kali cuma diasosiasikan sebagai kaki tangan dalam melakukan tindak kejahatan.
Cacat pun demikian.
Cacat mengalami penyempitan makna. Sebuah kata yang sebenarnya bersifat netral, sekarang berkonotasi negatif
Gue berusaha untuk mencari kata lain yang bernasib serupa, karena gue yakin ada banyak kata dalam bahasa Indonesia yang seperti ini.
And guess what, ada satu kata yang belakangan ini sangat populer yang mengalami peyorasi.
Kafir.
Banyak orang belakangan selalu berdalih kalau kafir adalah sebutan untuk mereka yang tidak beragama Islam. Mereka selalu membenarkan panggilan itu. Kafir seolah menjadi label yang mudah kita berikan kepada orang-orang yang berbeda kepercayaan.
Tapi sadarkah kita bahwa kata ‘kafir’ juga sudah mengalami peyorasi? Apakah mereka tau kalau panggilan itu menyakitkan hati? Dan dalam kondisi yang sama, apakah mereka akan memanggil gue si cacat?
Entahlah.
Satu hal yang gue tau, kondisi cacat gue (gue harap) nggak akan permanen. Kondisi gue yang perlahan semakin membaik membuat gue optimis untuk bisa kembali seperti dulu.
Tapi bagaimana dengan ‘kafir’? Kata yang kemungkinan besar sudah menjadi default untuk seumur hidup.
Postingan ini dibuat bukan untuk mencari rasa iba atau belas kasihan. Bukan itu tujuannya. Gue cuma ingin berbagi, kalau kadang, hal yang kita anggap benar belum tentu terasa benar.
Mungkin selama ini kita abai, karena bukan kita yang mengalaminya. Mungkin kita tidak pernah sadar hingga kondisinya terbalik.
Dan kadang, yang kita butuhkan cuma empati. To put ourselves in other people’s shoes. To put things into perspective.
Because words hurt. Baik itu cacat, ataupun kafir.
Menurut aku sih bang, artinya kafir atau cacat secara harfiah tidak berubah. Tapi orang-orang di sekitar kita sering menggunakan kedua kata itu dengan maksud/nada menjelekkan sehingga konotasinya menjadi negatif
Karena konotasinya negatif, penggunaan katanya harus hati-hati, memperhatikan lawan bicara, cari penngganti kata yang tidak menyakitkan hati.
Btw, ttp semangat Bang Tirta! Semoga semakin cepat pulih dan urusannya dimudahkan
Panjang umur kamu bang. Tadi aku gak sengaja klik akun ask.fm-mu terakhir jawabin sebulan yang lalu. Kirain kenapa2, cek blog ada posting baru. Tetep semangat bang!
Keep strong buat kamu yang bukan romeo ^-^.
Allah sedang sayang, makanya dikasi cobaan. Akan ada waktunya semua membaik.
Cacat memang terdengar kasar. Apalagi penggunaan kata “cacat” digunakan oleh para gamers skrng. Jd lebih terkesan negatif dan seperti pada umumnya, lebih ke bahasa medan XD
Harusnya tukang parkirnya dibales aja “Miskin bang? Kok jadi tukang parkir?”
Tenang ta, buat gue sebagai orang “kafir”, ga tersinggung sama sekali koq :) malah di sekitar gue pun jadi bahan becandaan. Apa uda terbiasa ya? Tapi ya Kami memang kafir bukan di mata mereka. JReeeeennngggg
Mmm kan tadi ka tirta dah bilang pasti mas parkir nya ngga maksud ngomong gitu hmmm
Wah surprised liat email ada notif dr bang tirta dan langsung cepet2 sempetin baca. Keren bang as usual! Doa agar cepat kembali berjalan dengan lancar selalu menyertai abang!
Bang, makasih atas sharing ceritanya, terutama soal GBS.
bapak saya juga di diagnosa GBS, ini sedang cari solusi, karna obatnya mahal banget.
Di Indonesia, body shamming adalah hal yang lumrah. Ketika gue pulang ke kampung bulan lalu setelah merantau hampir dua tahun, gue kaget ketika body shamming dijadikan bercandaan di keluarga gue. tapi tidak berhenti sampai di situ, ketika gue ke Jakarta dan ketemu temen2 yang gue pikir lebih berpendidikan, hal yang sama terjadi. Jadi nggak usah ngarep banyak apalagi “cuma” sepatah kafir. :)))
Sudah lama nggak blog walking kesini pas buka ternyata bang romeo lagi sakit, GWS bang.. Sakit yang diterima dengan sabar semoga bisa jadi penghapus dosa :)
semangat gan! tetep nulis terus ya tulisannya bagus, enak bgt dibaca :)