Orang Indonesia itu sering banget kena demam. Dulu demam kamera SLR, trus demam sepeda Fixie sekarang lagi demam lari.
Banyak banget demam muncul di Indonesia.
Dan sekarang, demam yang lagi happening di Indonesia adalah lari. Iya, lari di jalanan. Bukan lari di treadmill atau lari di kenangan mantan.
Buat gue sendiri, gue berhasil melewati semua demam tadi tanpa pernah ketularan. Demam kamera digital, gue gak ikutan karena kameranya mahal. Demam sepeda fixie, gak mampu beli karena harganya juga lumayan. Kere ternyata obat ampuh buat menghindari demam.
Sekian lama berusaha menghindari serbuan demam yang datang, akhirnya sekarang gue ketularan. Demam lari kali ini gak bisa gue hindari. Karena dalam pikiran gue, ah cuma modal sepatu lari doang kan?
Buat yang belum tau gue, gue adalah orang yang suka olahraga. Biasanya gue main badminton, muaythai atau futsal.
Dan sifat suka olahraga itu digabungkan dengan sifat tengil yang sering banget bikin gue kewalahan sendiri. Sifat yang sering bilang “Ah, gitu doang? Gue juga bisa!”
Contohnya waktu mencoba Bikram Yoga beberapa waktu yang lalu.
Dan kini, melihat betapa banyaknya event lari yang ada di ibukota, akhirnya gue penasaran. Can I do this shit?
Kenapa sih orang lari? Emang enak ya lari rame-rame gitu? Katanya event lari banyak cewek cantiknya ya?
Karena alasan-alasan itu (yang alasan ketiga sih lebih dominan. hehehe), gue akhirnya mengambil keputusan penting. Gue harus nyobain lomba lari!
Ada beberapa jarak yang bisa dipilih.
5k : Lima kilometer, biasanya ini buat cewek2 yang pengen nyobain lari tapi gak yakin ama staminanya. Pffttt..malu dong gue kalo ikutan yang ini.
Full marathon : Ini jaraknya sekitar 42 kilometer. Awalnya gue pengen jadi songong dan mendaftar lomba lari yang ini, tapi untungnya gue berinisiatif menanyakan ke teman gue Amanda yang suka lari tentang tipe yang satu ini.
“Kalo full marathon biasanya orang larinya berapa lama Man?”
“Mmmm, kalo gue sih kemaren empat jam lebih ya..”
“EMPAT JAM?! UDAH GILA KALI GUE LARI EMPAT JAM GAK BERENTI?! GUE MASIH MINUM AIR BELUM MINUM BENSIN!!”
Alhasil full marathon gue coret dari pilihan gue.
Opsi terakhir adalah yang 10 kilometer. Dari percakapan dengan teman-teman gue, rata-rata orang bisa menyentuh garis finish sekitar satu jam lebih.
Hmmm..kayaknya gue masih sanggup deh kalo segitu.
Oke lah! 10K it is!
Dan mendaftarlah gue untuk lomba lari Nike #BajakJKT yang dibikin 15 Desember lalu. Track larinya dimulai dari GBK, naik ke Semanggi, masuk SCBD dan muter balik di Senayan lalu kembali ke GBK. Kayaknya dekat. Kayaknya.
Mungkin kalian sudah sering baca artikel tentang lari, yang ditulis oleh orang yang memang suka lari. Tapi kali ini gue akan ngasi sudut pandang yang berbeda. Rasanya ikutan lomba lari dari orang yang gak terlalu doyan lari.
Hal pertama yang harus kalian lakukan adalah : Set your own target!
Mungkin dalam mengikuti lomba lari, orang lain akan bikin target personal seperti :
1. Gue harus nyentuh garis finish dibawah satu jam.
2. Gue harus bisa selesai bareng temen-temen gue.
3. Pokoknya bedak gak boleh luntur!
Pokoknya masing-masing peserta punya target dan ambisi personal yang ingin dicapai. Tapi buat gue pribadi, target gue sedikit berbeda.
1. Jangan pingsan.
2. Jangan muntah.
3. Jangan pingsan sambil muntah.
Pagi-pagi sekali gue udah sampai di Gelora Bung Karno di Senayan. Ribuan kaos merah sudah memadati stadion terbesar di Indonesia ini.
Sekitar pukul setengah tujuh, semua orang sudah bersiap.
Lomba lari dimulai dengan Raisa menyanyikan lagu Indonesia Raya. Panitia emang paling bisa memotivasi para pelari pria. Sepuluh ribu orang telah berkumpul di garis START. Gue melihat kerumunan di sekeliling gue, mencoba untuk memperhatikan persiapan mereka.
Para peserta lomba kali ini cukup beragam. Orang-orang dari klub lari dengan peralatan yang lengkap, ibu-ibu yang dalam upaya mengurangi lemak tubuh, remaja-remaja penggiat social media yang sedari tadi foto-foto, dan satu blogger tampan.
Dan inilah yang terjadi selama lari 10k gue.
Sebelum start.
*pemanasan* *stretching* *lirik-lirik cewek cantik* *tetep*
START!
Okay, let’s do this!
Lima menit pertama..
Ha! ternyata gak terlalu susah. I can finish this shit!
Sepuluh menit pertama..
Hmmm, napas mulai gak teratur. Konsentransi. Tarik napas yang dalam. Lo bisa ta, lo pasti bisa!
Lima belas menit pertama..
Mak, engap mak!
Dua puluh menit pertama..
Duh, garis finish masih jauh. Kaki udah mulai cenat cenut.
Dua puluh lima menit..
AER MANA AER?!
Tiga puluh menit..
WOI INI MANA GARIS FINISH NYA WOI?!
Empat puluh menit..
AMBULANS MANA AMBULANS?!
Empat puluh dua menit..
Puter balik apa ini?
Empat puluh lima menit..
“Ya Allah, kenapa Kau biarkan hamba mendaftar lomba ini ya Allah?
Empat puluh enam menit..
Ya halo panitia? Ambulans pesanan saya mana?!
Intinya,10 kilometer itu jauh nyeeeet!
Selama berlari, gue memperhatikan papan-papan petunjuk yang disediakan panitia. Papan-papan yang berisikan tulisan seperti “Lurus”, “Putar Balik” atau “Nyesel ya?”. Tetapi seinget gue, gak ada satupun papan petunjuk yang memberitahukan sudah berapa jarak yang gue tempuh. Ini memberikan efek positif, karena gue beranggapan kalau gue sudah berlari cukup jauh.
Garis finish pasti sudah di depan mata. Pasti!
Hingga akhirnya seorang marshal (petugas penjaga lari) berteriak kepada seluruh pelari : “Enam kilo. Empat kilo lagi! Ayo semangat!”
BANGSAAATTT!! BETIS GUE UDAH HAMPIR PECAH GINI DAN BARU ENAM KILO?!!
Gue sudah hampir pasrah, mencoba tetap menyeret kaki gue untuk tetap bergerak. Tidak jauh dari situ, gue melihat seorang marshal di depan yang memutar musik dari hapenya untuk memompa semangat para pelari. Tapi sayang, pilihan lagunya kurang tepat.
“Insyaaaa Allah, Insyaaaaa Allah, Insyaaaa Allah ada jalan”
AARRRGGGGHHH..KENAPA HARUS LAGU MAHER ZEIN YANG DIPUTERIN?!
“Insya Allah, ada jalan”
IYA MAS MAHER, ADA JALAN, JALANNYA MASIH EMPAT KILO LAGI!”
Dan panitia sepertinya tidak kehabisan akal untuk menyemangati para pelari. Di depan, sayup-sayup terdengar teriakan “Semangat! Semangat!” dari pinggir jalur berlari. Gak mau kehilangan muka, gue mencoba tetap berlari di depan mereka.
Ketika melewati gerombolan supporter tersebut, gue seperti sulit untuk mempercayai mata gue sendiri.
KENAPA YANG MENYEMANGATI ITU IBU-IBU PENGAJIAN?! GUE BELOM MAU WAFAT INI!
Setapak demi setapak gue lalui dengan perlahan. Beberapa kali gue harus melipir ke jalur kiri (jalur yang lebih lambat) untuk mengambil napas. Pelan-pelan gue mencoba tetap berlari, hingga akhirnya kompleks Gelora Bung Karno mulai terlihat.
Gue melemparkan pandangan mencoba mencari garis finish. And guess what? Garis finishnya berada di dalam stadion GBK. Di running tracknya!
Barisan panitia berbaju hitam mulai membentuk barikade. Gue berlari perlahan memasuki pintu stadion yang sedikit gelap. Kegelapan itu tidak bertahan lama ketika gue mulai melihat ke dalam. Cahaya dari dalam stadion mulai menyeruak masuk sedikit menyilaukan mata.
Panitia memasang suara sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan yang terdengar ke seluruh penjuru stadion. Gue berasa jadi Evan Gunawan Dimas!
“Ayooooooooo! Di depan sudah garis finish!” teriak seorang panitia
Gue sedikit melirik ke pinggir jalan, sebuah papan pengumuman “50 meter” berwarna hitam ada disana.
Semua orang mempercepat lari mereka.
Degupan jantung gue semakin cepat, berusaha memompa oksigen sebanyak-banyaknya.
Ritmenya hampir seirama dengan derap langkah.
Kelelahan yang sejak tadi terasa menguap entah kemana.
Tak ingin ketinggalan, gue semakin mempercepat ayunan tungkai kaki.
Di beberapa meter terakhir, suatu perasaan aneh mulai muncul. Rasa yang belum pernah gue rasakan sebelumnya. Rasa puas!
FINISHED!!
Gue ternyata bisa mengalahkan diri gue sendiri. I did it! I’m a finisher!
Butuh satu jam delapan belas menit untuk gue bisa menyelesaikan lomba lari 10 kilometer ini. Gak jelek untuk seseorang yang gak pernah lari sebelumnya.
Juara di kelompok putra #BajakJKT kali ini adalah Onesmus Muindi dari Kenya. Ini seolah melanjutkan tradisi setiap event lari di Jakarta itu juaranya orang Kenya. Hingga membuat gue berpikir apa mungkin di kampung halamannya di Kenya, mereka latihan lari sambil dikejar cheetah.
Gue juga heran kenapa selalu orang Kenya yang juara lomba lari di Jakarta. Apa mereka khusus datang kesini buat nyari duit dari hasil juara lomba lari?
Mungkin di suatu pagi di perkampungan di Kenya, ada kejadian kayak gini :
“Pa, uang belanja udah habis nih.”
“Bentar ma, papa nanti ke Jakarta dulu buat lari. Neng, papa mau latian nih. Ayo keluarin cheetahnya!”
Buat gue pribadi #BajakJKT dibikin dengan penuh persiapan. Semua venue dan papan petunjuk membantu para pelari dengan hati-hati. Barisan marshal siap sedia sepanjang jalan. Karena ini adalah lomba lari pertama yang gue ikuti, gue gak bisa membandingkan dengan lomba lari lain. Secara keseluruhan, event ini memuaskan!
Ada banyak spot foto di Runners Village yang disediakan panitia untuk para pelari.
Tapi menurut gue, bagian paling epic dari lomba kali ini adalah pada saat memasuki garis finish. Suasana yang dibangun ketika para pelari masuk ke dalam GBK itu keren banget!
Dari pengalaman pertama ikutan lomba lari ini, ada beberapa tips untuk pelari pemula (seperti gue) yang bisa gue bagi.
1. Pake deodorant : Lo akan berkeringat dengan jumlah yang gak sedikit. Banjir! Jadi, pastikan sebelum berangkat lo mandi yang bersih dan pake deodorant.
2. Jangan lupa pemanasan : Meskipun panitia pasti menyediakan ambulans untuk kondisi gawat darurat, lo pasti gak mau cedera kan? Your social media can wait.
3. Considerate to others : Ketika lo udah cape dan pengen ngambil napas, segera melipir ke kiri jalan. Agar orang-orang yang ingin berlari lebih cepat gak tersendat. Ini banyak sekali gue liat di gerombolan cewek-cewek yang berjalan beriringan hingga memakan jalur berlari.
Masa yang mau lari kenceng harus teriak “Air panas! Air panas!” biar lo melipir? Tolong toleransi sedikit, ada beberapa pelari Kenya yang tengah mencari nafkah disini.
Ini adalah etika lari yang baru gue ketahui ketika mengikuti #BajakJKT
4. Jangan nyampah! : Ini yang paling penting. Di setiap water station, panitia akan membagikan air minum untuk para pelari. Dan di dekatnya, pasti ada tong sampah atau trash bag untuk gelas-gelas yang sudah kosong.
Buang disana! Gak usah sok-sokan bawa cup minum lalu dibuang di tengah jalan. Atau kalo gak mau repot, bawa botol minum sendiri.
Akhirnya gue sepenuhnya mengerti kenapa orang rela mengikuti lomba semacam ini. Ada perasaan yang aneh yang muncul ketika kita berhasil melewati garis finish. Meskipun tidak juara, ada sejumput rasa bangga yang lahir ketika kita bisa mengalahkan diri sendiri.
Hingga lo bisa bilang ke diri lo sendiri : “Untung tadi gue gak nyerah”
Mungkin event lomba lari sering menyebabkan kemacetan. Tapi pembelaan gue, sepertinya lomba lari selalu dilaksanakan di daerah car free day untuk meminimalisir kemacetan. Meskipun begitu, gue mohon maaf karena gue turut ambil bagian dalam kemacetan yang terjadi minggu pagi kemarin.
At the end, gue bisa mencoret lari 10 kilometer dari bucket list gue. Kali ini, gue berhasil membajak Jakarta.
If you want to run fast, run alone. If you want to run far, run together. – an African proverb.