Setahun yang lalu, gue mengikuti lomba lari 10k pertama gue, Bajak JKT yang dibuat oleh Nike. Pengalaman pertama berlari 10 kilometer itu memberikan pengalaman baru yang menyenangkan.
Pengalaman itu berhasil gue tulis di blog ini dengan tulisan yang berjudul Mencoba Lari : BajakJKT.
Tanpa gue sadari, tulisan yang gue kemas secara segar itu, disukai oleh banyak orang. Tulisan itu akhirnya viral dan mencetak rekor traffic tertinggi untuk blog gue hingga saat ini.
Puncaknya, gue dihubungi oleh tim marketing Nike untuk memberi tahu bahwa tulisan gue berhasil nyampe di tangan mereka. Gue tentunya bangga, tulisan blog yang sederhana itu bisa nyampe di tim marketing Nike Indonesia. Akhirnya akibat tulisan itu, gue diminta untuk diwawancarai sebuah majalah untuk mengisi bagian gaya hidup (Keren ya? hehe..)
Dan hal itu semua membuat gue bertekad, gue akan ikut BajakJKT lagi!
Akhirnya gue mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba BajakJKT Nike tahun 2014. Dan setelah selesai mengikuti lomba itu, gue mendapatkan hal lain yang benar-benar berbeda. I wish I can tell you how excited I was on that race. But in fact, I was not.
Gue betul-betul kecewa dengan penyelenggaraan BajakJKT tahun ini.
Kekecewaan terbesar justru datang dari inti sebuah lomba lari. Pemilihan waktu lomba dan rute lomba.
Keanehan ini mulai gue rasakan ketika gue tau bahwa lomba akan diadakan hari Sabtu jam 4 sore.
Gue langsung berpikir : “Hah? Sabtu? Bukannya itu lagi puncak lalu lintas orang pulang ke rumah sebelum magrib?”
Keanehan ke dua dari lokasi dan rute lomba. Berbeda dengan tahun lalu dimana lokasi lomba dimulai di gelora Bung Karno, dan juga berakhir disana, tahun ini rute lomba dimulai dari Lapangan Banteng, Gajah Mada, Monas dan sekitarnya.
Jika lokasi GBK yang notabene adalah daerah untuk berolahraga, orang-orang pasti akan maklum jika ada lomba lari yang diadakan disana. Dan pemilihan Minggu pagi sebagai waktu lomba akan membuat lalu lintas di Sudirman dan sekitarnya akan jauh lebih sepi yang akan lebih ramah bagi puluhan ribu pelari. Dan ditambah lagi dengan adanya Car Free Day waktu itu.
Tapi tidak dengan BajakJKT tahun ini.
Rute yang dipilih adalah rute bisnis, rute orang belanja, pertokoan dan dilakukan di Sabtu sore!
Dan benar saja, begitu gue menuju ke arah sana sejam sebelum lomba dimulai, lalu lintas sudah sangat tidak bersahabat. Jalanan menuju daerah lomba sudah macet parah akibat beberapa ruas jalan yang ditutup.
Gue mencoba tetap optimis kalau acara ini akan sebaik acara tahun sebelumnya. Tapi lagi dan lagi, gue tampaknya harus menelan kekecewaan.
Begitu lomba dimulai dan para pelari meninggalkan Lapangan Banteng, terlihat jalanan yang ditutup mulai padat. Di arah berlawanan dari rute lari, lalu lintas diam tidak bergerak. Ribuan motor yang berhenti, beberapa mobil sudah mematikan mesinnya. Belasan bus transjakarta diam tidak bisa kemana-mana. Meskipun begitu, untuk dua puluh menit pertama, para pelari masih bebas berlari di jalur yang sudah dibersihkan.
Hal pertama yang mengganggu gue mulai terjadi.
Pandangan-pandangan tidak menyenangkan muncul dari orang-orang yang terjebak kemacetan yang memandangi para pelari amatir ini yang lengkap dengan gadget-gadget lari yang sedang sibuk selfie untuk dimasukkan ke dalam social media nanti. Termasuk gue.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah foto yang gue ambil menurun jauh karena gue hanya ingin segera menyelesaikan lomba ini. Rasa tidak nyaman yang muncul dari tatapan-tatapan warga yang terjebak kemacetan itu benar-benar mengganggu. Tapi gue juga akan melakukan hal yang sama jika gue dalam posisi mereka, jadi gue hanya menunduk dan berusaha untuk terus berlari.
Memasuki kilometer ke tiga, bencana sesungguhnya mulai terjadi.
Ribuan orang yang tadi diblokir akhirnya mulai tidak sabar dan merangsek masuk ke jalur berlari. Dimulai dari motor-motor hingga akhirnya mobil yang menerobos. Jalur lari yang awalnya bersih dari kendaraan kini tak ubahnya jalanan biasa.
Ribuan para pelari itu akhirnya berlari di ruang yang tersisa. Di trotoar, di antara warung pecel ayam, di pinggir mobil, di sela-sela kendaraan yang lagi parkir. Total chaos!
Di beberapa persimpangan, yang harusnya aman untuk pelari menyeberang, tak ubahnya persimpangan pada umumnya. Para pelari harus menghentikan larinya dan berusaha menghentikan sendiri laju kendaraan yang mencoba terlepas dari kemacetan.
Tidak terlihat sama sekali marshal lari, panitia lomba atau polisi lalu lintas yang membantu menyeberangkan para pelari. Mungkin mereka sudah pasrah menghadapi lalu lintas yang sudah menggila yang mencoba melepaskan diri dari jeratan kemacetan yang sudah berlangsung berjam-jam.
Masalah yang sama tetap terjadi dari tahun lalu. Di setiap water station yang disediakan, gelas-gelas plastik yang sudah selesai digunakan dibuang seenaknya oleh para pelari. Padahal ada beberapa trash bag yang sudah disediakan.
Meskipun nanti ada petugas kebersihan yang membantu membersihkan, gue pribadi merasa ini sangat mengganggu.
Memasuki kilometer ke delapan, hal terburuk dari sebuah lomba lari akhirnya terjadi. Di daerah pasar Senen, para pelari berlari bersisian dengan kendaraaan yang sedang menyala di tengah kemacetan. Kami berlari sambil menghirup karbon monoksida. Inti dari sebuah lomba lari, yaitu mempromosikan gaya hidup sehat, kini sama sekali tidak tercapai.
Beberapa kali gue mencoba menutup mulut dan hidung untuk menghalau asap yang mencoba masuk ke dalam paru-paru. Dan lucunya, sebagian asap-asap itu dikeluarkan oleh bajaj-bajaj yang disewa panitia sebagai properti lari.
Bajaj dengan tulisan : You VS Bajaj. Lengkap dengan logo BajakJKT dan Nike Indonesia. Oh the irony.
Di beberapa bagian, ribuan motor yang menyemut akhirnya membunyikan klason mereka berulang ulang. Menimbulkan suara bising yang luar biasa. Akhirnya bunyi ribuan klakson yang memekakkan telinga ini akhirnya dibalas dengan teriakan “Wooooooooooo!!!” dari ribuan pelari.
Tidak ada yang mau mengalah. Barbar sekali.
Sepanjang jalan, gue nggak pernah berhenti malu dengan diri sendiri. Gue yang beberapa kali mengkritik demo buruh yang memblokir jalan, kini melakukan hal yang sama hanya demi berlari. Malah teman-teman buruh gue rasa lebih terhormat karena mereka membela perut mereka. Dibandingkan dengan gue yang melakukan hal itu hanya demi gaya hidup.
Gue terus berpikir bagaimana seandainya dalam kemacetan itu ada orang yang butuh buru-buru ke rumah sakit, ada janji yang harus ditepati, atau hal-hal penting lainnya yang gagal karena gue.
Gue berusaha memacu lari gue, ingin segera menyelesaikan lomba ini.
Mendekati garis finish, situasi mulai membaik karena daerah lapangan Banteng yang memang sedikit bebas dari daerah bisnis dan perumahan warga.
Dan tepat satu jam tiga puluh menit, gue berhasil melewati garis finish. Lelah, kecewa dan malu bercampur menjadi satu.
Lomba ini sendiri bukannya tanpa hal positif, Nike Indonesia tetap memberikan hal-hal lain yang bagus menurut gue. Dari race pack yang diberikan, properti-properti yang disediakan di Race Village, hingga spot-spot yang baik untuk foto-foto. Tapi kegagalan dalam mengelola jalur dan waktu berlari seolah menghilangkan semua itu.
Lomba lari BajakJKT kali ini benar-benar telah membajak Jakarta, tapi bukan dalam konteks yang bagus. Hampir semua teman yang gue temui sesudah lomba mengatakan ketidakpuasannya dalam penyelenggaraan lomba kali ini.
Akhir kata, dengan tulisan ini gue ingin meminta maaf secara terbuka kepada siapa pun yang gue rugikan dalam lomba lari BajakJKT kemarin.
Gue adalah salah satu dari puluhan ribu pelari yang memblokir lalu lintas kalian, yang mengacaukan agenda kalian atau bahkan membatalkan janji kalian.
Secara pribadi dan mungkin mewakili beberapa teman gue yang ikut berlari, gue memohon maaf. Kita memang kelas menengah ngehe yang kadang terlalu ignorant. Jujur gue malu dengan apa yang gue lakukan secara langsung atau tidak langsung. Gue udah menerima sindiran-sindiran yang lumayan nyelekit di Twitter meskipun bukan ditujukan buat gue. Dan dengan tulisan ini gue ingin meminta maaf.
Yang pasti, BajakJKT berikutnya akan kehilangan satu pelarinya.