Tinggal dan belajar di Aberdeen mungkin sejauh ini menjadi salah satu fase dalam hidup gue yang paling menarik. Berbeda aja rasanya dari semua fase hidup lain yang sudah gue jalani. Menghabiskan waktu SD di Medan, SMP dan SMA di Banda Aceh, kuliah di Bandung hingga kerja di Jakarta.
Ada beberapa aspek yang berubah dari gue dan sudut pandang gue selama tinggal di Aberdeen.
Mungkin untuk yang membaca tulisan ini, sebagian akan terasa sangat remeh, tapi buat gue pribadi, hal itu menjadi hal yang lumayan signifikan.
Beberapa hari yang lalu, gue melakukan sedikit self-reflection dan kepikiran untuk membuat sebuah postingan blog untuk hal ini. Melihat kembali hidup gue setahun ke belakang, dan menyadari ada beberapa hal dalam hidup gue yang berubah, mulai dari hal-hal yang nggak penting ke hal-hal yang super gak penting. Hahaha.
Anyway, berikut beberapa hal yang berubah dalam hidup gue.
1. Lebih kurus,
Iya, ini harus menjadi hal pertama yang dibahas. Hampir setahun tinggal di Aberdeen, membuat berat badan gue susut. Gue kembali ke berat badan waktu kuliah di Bandung, berkisar di sekitaran 63-64 kg. Turun sekitar 4 kg dari berat badan normal gue di Jakarta. Atau sekitar 9 kg dari berat paling ektrem yang pernah gue alami.
Iya, gue pernah menyentuh 72 kg. Rasanya udah kayak sapi siap dikurban. Berat bener. Waktu itu rasanya gue nggak punya leher, dari bahu langsung ke kepala.
Tapi sekarang kayaknya udah jauh lebih baik.
Bukan, alasannya bukan karena gue kesulitan untuk nyari makan. Memang sih nggak ada restoran padang di sini, tapi tetap aja gue makannya gragas.
Adek gue sempet khawatir ngeliat postur tubuh abangnya yang makin kurus kayak orang yang demen nyabu. Ampe dia beberapa kali ngirim Line nanya gue makan apa, dengan siapa, semalam berbuat apa. Tapi tenang aja, berat badan gue turun bukan karena gue nggak doyan makan melainkan karena jumlah kalori yang gue bakar di sini jauh lebih banyak.
Gue bergerak jauh lebih banyak. Di sini, gue jalan kaki kemana-mana. Kuliah ke kampus, belanja ke supermarket, hingga kadang untuk nongkrong ke city center. Udah kayak musafir di jaman dulu. Kemana-mana jalan kaki. Tinggal nyari Sun Go Kong udah cocok banget gue untuk nyari kitab suci ke barat.
Alhasil lingkar pinggang pun mengecil, badan terasa menjadi lebih enteng, dan double chin gue menghilang.
Rencananya gue ingin tetap menjaga postur gue segini aja, tapi mungkin diimbangi dengan angkat beban biar agak berisi, dan nggak terlihat seperti pengungsi kekurangan gizi.
2. Cuaca
Selama tinggal di sini, toleransi gue terhadap udara dingin semakin meningkat. Udara belasan derajat celcius bisa gue hadapi tanpa menggunakan jaket.
Namun sebaliknya, toleransi gue terhadap udara panas juga semakin menurun. Cuaca musim panas di sekitar dua puluh lima derajat beberapa waktu yang lalu sudah bisa membuat gue berkeringat.
Tentu saja ini membuat gue khawatir.
Ini apa kabarnya kalau gue nanti main ke Bekasi? Bisa-bisa gue meranggas.
Tubuh gue juga sepertinya memiliki self-defense mechanism nya tersendiri. Kemampuan tubuh gue untuk memproduksi bulu semakin hebat. Ini sepertinya bentuk pertahanan tubuh untuk menghadapi udara dingin.
Alih-alih ingin mencari Sun Go Kong, gue malah yang jadi mirip Sun Go Kong nya.
3. Bisa masak,
Oke, ini menjadi hal berikutnya yang harus gue tulis. Hahaha. Untuk kalian yang temenan ama gue di Path, mungkin kalian sudah menyadari hal ini. Gue sudah beberapa kali meng-upload foto hasil masakan gue diiringi dengan rasa bangga yang membuncah.
Dulu, skill gue di dapur minim sekali. Gue cuma bisa memasak indomie atau memasak nasi (di rice cooker tentu saja). Sekarang? Mulai dari rendang, kari ayam, sop daging, teri balado, tumis menumis, nasi goreng seafood, bihun dan mie goreng, hingga menu darurat karangan gue sendiri bisa gue masak.
Ini tentu saja menjadi langkah besar buat gue. Chef Juna harusnya udah mulai khawatir.
Jadi buat cewek-cewek yang dulu pada bilang ‘cowok yang bisa masak itu sexy’ udah bisa mulai waspada.
Gue masakin, bisa jatuh cinta kalian.
Target berikutnya adalah belajar masak steak atau pasta. Tungguin aja!
4. Menjadi minoritas,
Hidup menjadi seorang muslim nggak mudah di Aberdeen. Pilihan daging halal sangat terbatas. Kalau pun ada, harganya menjadi lebih mahal. Oleh karena itu, gue belanja daging biasa di sini.
Dan di Aberdeen, gue harus kuliah di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha beberapa waktu yang lalu. Hari raya yang selama ini selalu gue habiskan bersama keluarga.
Mengalami hal ini, membuat gue merasakan gimana rasanya menjadi minoritas. Merasakan gimana rasanya kalau hari besar agama yang gue anut, tidak dirayakan besar-besaran. Merasakan bagaimana toleransi para dosen untuk membiarkan gue masuk sedikit lebih telat untuk menunaikan shalat Jumat tanpa mengurangi nilai gue.
Dengan merasakan hal-hal seperti itu, rasanya gue nanti akan bisa mengerti bagaimana untuk bersikap kepada golongan minoritas sekembalinya gue ke Indonesia.
Dan hal itu, terasa mendewasakan. Entah kenapa.
5. Less judgemental,
People do judge a book by its cover, but sometimes some exceptions should be made. Itu yang berhasil gue pelajari dari tinggal di luar Indonesia.
Kecenderungan untuk menilai seseorang dari penampilan luarnya sebaiknya sudah bisa dikurangi dan menjadi less judgemental.
Teman-teman yang doyan party dan minum alkohol, nggak berarti dia jadi pribadi yang lebih buruk.
Di sini gue ketemu dengan orang-orang yang tattoan, kerjaannya party dan mabok, tapi nilainya jauh lebih bagus daripada gue. Orang-orang yang cara berpakaiannya cuek dan lebih terbuka, ternyata punya hati dan toleransi yang lebih besar.
Orang-orang yang tidak percaya Tuhan, ternyata melakukan kegiatan amal (charity) untuk para pengungsi Suriah tanpa banyak bicara.
Di sini gue belajar bahwa pada ujungnya, apapun ada hal yang lebih tinggi dari ritual dari sebuah agama, yaitu kemanusiaan.
Bagaimana sebaiknya bersikap kepada orang lain, terlepas dari apa agamanya, warna kulitnya, penampilannya, ataupun cara hidupnya.
Now I believe that humanity is higher than our rituals. Gue kini percaya untuk menuju surga di akhirat, kita harus membuat surga di dunia terlebih dahulu.
Makanya gue suka banget shalat Jumat di sini, isi khutbahnya jauh dari menyebarkan kebencian. Tidak ada khutbah pake teriak-teriak menjelekkan agama lain. Isi khutbahnya adalah materi-materi sederhana yang menyebarkan kedamaian. Bagaimana kita sering lupa untuk tersenyum kepada tetangga, atau berbuat baik kepada sesama.
Damai sekali.
6. Lebih bokek.
Ini harus menjadi hal terakhir yang ditulis. Kegemaran untuk traveling, dan keparatnya Amazon atau eBay berbahaya banget untuk dompet gue.
Alhasil gue harus bekerja part time untuk menyelamatkan tabungan gue. Bukan apa-apa, gue nggak pengen makan nasi aking sekembalinya gue ke Jakarta.
Rencananya, postingan blog gue berikutnya adalah mengenai pekerjaan part time gue. Tungguin ya!
Anyway, itu sedikit dari self reflection gue yang berhasil gue lakukan beberapa waktu lalu. Hasilnya memang sangat subjektif dan bernuansa curhat sih. But let me hear your comments below!
PS : Gue juga menulis buku lho. Judulnya Newbie Gadungan. It’s available in your favorite bookstores (online or offline). Let me see your rating or review in Goodreads if you’ve read it!
keren banget kak !!!!
tetep tirta yang komedi sekali ya haha
baca blog sampe ketawa tawa sendiri di kantor.
untung sepi pada cuti, hari jumat kejepit :p
hmm…. mestinya efpei – efpei dan mereka yang gemar kasih label kafir ke orang lain itu dikirim sekolah aja ya ke aberdeen, misalnya..
mempertimbangkan untuk kuliah disana juga biar kurus:)
elu bisa kurus begitu ta cuma jalan kaki doang? berat gue 72 udah kaya babi aer. diet sih tapi perut tetep buncit pffft #bahas
Setuju bgt sama poin 5.pengalaman tinggal di Jepang jg ngajarin gw gitu ta.tp pas balik ke Indonesia beberapa org mikir kl gw jd liberalis bgt?
But it’s okey….kita jalani,orang komentari.seperti itu hidup berjalan?
Selera humor lo juga sepertinya menurun, biasanya ngakakjungkel2 baca postingan romeogadungan, belakangan ne nggak. Paling banter mesem doang; tapi emang terlihat jauh lebih mature ketimbang postingan sebelum di Aberdeen. Menurut gw se, no offense ;)
@Febri : it’s okay. Totally fine kok. Sebenarnya alasannya cuma satu, jokesnya disimpan buat buku berikutnya. Trust me :)
keren nih tulisan…
Eh lho gimana caranya tadinya cuma bisa masak mie instan dan nasi kok tau-tau bisa masak rendang dan kawan-kawan? Apa dari resep online saja cukup? Atau memang kak Tirta udah ada bakat masak?
Btw, seru nih kak :) Ditunggu tulisan soal parttimenya ^^
Great.. Keep it up! :)
hehehe..
good as always..
Gatau kenapa seolah gue ikut ngerasain apa yg ada di cerita,, great deh pokonya!
hehehe kocak banget. Btw, yang nomor 4 itu memang perlu banget seandainya kita sejak lahir sampai besar terbiasa menjadi bagian mayoritas. Kadang-kadang sense empati kita tumpul kalau tidak pernah mencoba menjadi minoritas. Dan traveling atau kuliah di negara lain bisa jadi salah satu cara untuk melatih itu>
tetap rajin belajar dan tetap rajin menulis :-)
life is hard Ta, when your life is so comfort even in minority, look at your country what your people doing, what your brother and sister Do.
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/13/058709127/aceh-singkil-mencekam-satu-gereja-dibakar-2-tewas
well…banyak hal positif yang bisa dipetik di luar Indonesia…
Bang gue pengen bgt kuliah di sono bang. Kalo boleh tau kmrn IELTS lo berapaan ya? sama pake LOA gak bang? thanks beforeeee. I will be there one day.
Duh nomer 5 :’) seneng bacanya.
Keren banget kak?? saya suka dengan “toleransi” dan “‘mendewasakan” sukses kak tirta org aceh! Kita serumpun! Haha
Nice post, Kak Tir.
Gw tersentuh di poin nomer 5 “..menuju surga di akhirat, kita harus membuat surga di dunia terlebih dahulu.”
Abang-abang gw 8 dan 9 tahun di US pulang-pulang emang jadi rutin ke masjid, tapi pemikirannya ngga jauh beda sama khatib-khatib yang khutbahnya bahkan bisa bikin kuping gw yg juga seorang muslim ini panas.
Anyway, welcome back!