“Itu ikannya ditaro lemon ama garam duluuuu… biar gak amis.” dia memarahi gue.
Karena skill memasak gue emang hampir mendekati nol, gue cuma diam dan menuruti apa katanya. Dan dia adalah satu-satunya yang punya cukup kesabaran untuk mengajari gue cara memasak.
Sejak kuliah di sini, gue mau nggak mau harus belajar memasak. Selain harga makanan yang lebih mahal dan menyiksa uang beasiswa gue, perut gue sepertinya tidak bisa mentolerir lagi makanan-makanan bule yang tersedia.
Burger, pizza, atau pasta sudah tidak bisa lagi gue terima. Berat badan gue susut beberapa kilogram sejak tiba di sini. Jadi, belajar memasak adalah opsi yang paling logis yang bisa gue lakukan.
“Nantinya apinya jangan kegedean ya..” ujarnya mengingatkan.
“Siap chef!” ujar gue singkat.
Jemari gue sibuk melumuri… Lanjut ta.. | 7 Comments