Namanya Marni.
Sama seperti gue, dia bukan orang asli dari daerah ini. Mungkin dia langsung datang dari Tegal untuk berjualan di warung ini. Tapi yang jelas dia bukan pemilik warteg ini, dia hanya orang yang bekerja di sini demi lembaran-lembaran rupiah sebagai pengganti waktunya.
“Makan mas?” tanya Marni setiap kali pengunjung melangkahkan kaki ke dalam warungnya, termasuk gue di siang ini.
Pertanyaan yang cukup retoris mengingat gak mungkin gue datang kesini untuk latihan berkuda.
Warteg ini tidak terlalu besar, hanya berukuran sekitar 3 x 2 meter. Etalase kaca tempat menyimpan makanan sudah sedikit kusam dimakan waktu. Di beberapa pojok ruangan, terdapat beberapa tumpukan debu yang lupa dibersihkan. Meskipun kondisinya begitu, semua teknologi di warung kecil ini sudah touch screen.
gambar diambil